Monday, May 26, 2014

Lamunan di Sunset Pantai Tirang

15 September 2013 at 12:15


Aku gelisah memandangi ujung laut. Duduk di bongkahan kayu yang malang terdampar. Sesekali kupandangi Winarso dan Nanang sedang bercanda saling bersirat riak ombak. Sekian kali aku bertemu mereka, tapi ini yang paling spesial. Kali ini melibatkan senja yang memerah di Pantai Tirang, Semarang. Siapakah sebenarnya mereka ini?.

Ku lanjutkan lagi lamunanku. Tangan mengusap-usap pasir dalam pandangan kosong. Persis seperti orang habis terdampar. Mengapa aku terdampar disini?, dan dibelakangku ada orang-orang yang sedang memasak, mendirikan tenda, mengumpulkan kayu untuk api unggun, wajah mereka merona seperti tak sabar ingin menyambut malam di pantai.
Mereka menamakan dirinya orang-orang KSG, kemudian mereka menyebutku orang Sejarah. Dan katanya kita semua disini sedang merayakan Hari Bumi, 22 April 2009.

Mengapa aku terdampar disini ??

Semua berawal dari pujian. Lelaki Lengob (lambat berfikir) seperti aku tiba-tiba ditunjuk ikut lomba Olimpiade Ekonomi tingkat Kabupaten. Wajar SMA pinggiran memilih orang kelas teri seperti aku, karena memang adanya teri, tidak ada kakap disana. Diculik guru dipaksa makan kenyang-kenyang mapel Ekonomi. Meski akhirnya tak menang tapi Sekolah masih percaya padaku untuk dikirimkan lagi di tahun depan. Masih dengan tangan kosong yang kudapat. Namun aneh, setelah itu sahabat dan guru memujiku, padahal hanya karena aku dikirim sebagai “Peserta Olimpiade”. Bila mungkin itu akan membuatku sombong, tapi bisikan hati berkata lain, kalau aku memang sebaiknya merunduk. Aku paling malu bila diekspos, atau jadi buah bibir. Ini malah membuatku prengas-prenges (senyum bodoh) dan sebenarnya aku ingin mengatakan “apalah artinya ini? Aku hanyalah ‘peserta’, bukan ‘pemenang’, sebenarnya masih dangkal otakku”.

Mereka tak pernah tahu bahwa bagiku sebuah pujian adalah tanggung jawab besar, bukan bahan bakar kesombongan. Pikirkan jika hasil ujian nanti tidak sesuai dengan pujian. Maka rasanya seperti jatuh dari tower. Tamparan keras.

Ku ikhtiarkan saja tanggungjawab ini, meski terasa berat. Dan itu berhasil membuat nilai-nilai mapel lain semakin membaik dan membaik. Bahkan yang tadinya aku aktivis remidi mapel Sejarah di kelas X dan XI, kini telah bisa keluar dari zona merah itu.

Aku menjadi terbiasa dengan pujian demi pujian. Namun pujian paling berarti bagiku adalah dari Pak Topan, ketika beliau memberi nilai 100 pada teks skenario drama Proklamasi Kemerdekaan garapanku. Ini adalah terbaik yang pernah beliau baca, sambil menepuk bahuku. Dan akhirnya skenario itu didramakan oleh teman-teman. Hingga pada titik kulminasi, aku berhasil mempecundangi nilai Fajar, kawan terkenal yang cerdas untuk mapel Sejarah.

Aku jadi sedikit mencintai mapel sejuta kisah ini. Yang tadinya namaku selalu duduk di zona degradasi, tapi sekarang aku benar-benar merasakan menempati kursi VIP di puncak klasmen mapel Sejarah. Buku-buku sejarah mulai ku lahap. Banyak terjadi pola pikir dalam otakku, cita-cita hidupku juga menjadi semakin plin-plan, bahkan hampir-hampir aku tak tahu ingin menjadi apa. Sebelumnya aku tak ingin menyia-nyiakan kekayaan ilmu Ekonomiku untuk bisa diterima di Jurusan Akuntansi UNSOED. Namun akhirnya, Ekonomi hanya duduk di bangku cadangan. Ada sebuah buku yang telah membiusku dan menuntunku ke suatu jalan, buku itu adalah “The Mass Killers in Century XX”. Buku itulah yang menyeret tanganku untuk mengarungi samudera sejarah. Sedahsyat game “JUMANJI”. Atau mungkin persis sedahsyat buku “Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien” karya Jan Huygen van Linshotenbuku yang konon menjadi penyebab bangsa Barat menjajah Nusantara.

Sejarah telah menyeretku ke kampus C2 dengan menembus jalur black hole SNMPTN. Mangapa buku “The Mass Killers in Century XX”??. Ini adalah buku terkutuk!!, bagi mereka yang tidak mau tahu tentang pahitnya dunia. Buku yang seharusnya menjadi inspirasi rasa syukur bagi generasi sekarang. Bercerita tantang ngerinya dunia di sekitaran abad 20. Jaman-jaman jauh sebelum aku dilahirkan ke dunia. Puluhan juta nyawa melayang akibat genosida, ataupun perang. Aku membayangkan betapa tak berharganya nyawa pada saat itu. Seperti semut-semut yang mati keracunan kapur ajaib, atau seperti ribuan ayamLeghorn masuk ke ruang jagal di sebuah pabrik nuget.

Terpikir bagaimana jika aku hidup pada zaman itu?, mungkin di usia muda ini aku sudah merasakan betapa sakitnya tertembus timah panas, atau merasakan kehilangan satu tangan karena terkena ledakan mortir, mungkin tewas tertusuk bayonet pasukan Sekutu, mungkin aku mati kedinginan saat ikut perang di Stalingrad, mungkin ikut diberondong peluru oleh orang Khmer Merah di Killing Field Kamboja, mungkin aku mati kelaparan karena beras-berasku selalu dirampas penjajah Jepang, atau mungkin aku ikut disembelih di Bali oleh ABRI karena keterlibatanku di PKI. Kurasa Tuhan sedang tidur saat itu?

Aku merasa bahwa menelusuri kisah-kisah masa lalu memang unik. Sampai-sampai aku lupa tentang profesi yang akan kuhadapi, “Keguruan”. Ah tidak, aku orang yang malas berbicara. Aku tipe orang yang paling sering berbicara dengan diriku sendiri. Aku masuk ke Sejarah tidak lain agar aku bisa menyaksikan movie-movie terbaik dari bioskop manapun tentang peristiwa-peristiwa di bumi ini sebelum aku lahir. Dan satu lagi yang unik bahwa Sejarah memang seperti Red Wine, semakin lama usianya maka semakin nikmat. Demikian aku temui jalan mulus untuk duduk manis, diam dan mendengarkan di setiap ruang-ruang gedung Jurusan Sejarah tertua di Provinsi ini.

Jojo-lah orangnya, lelaki bermata agak juling dan berkacamata tebal itulah yang terus membujukku untuk ikut HIMA. Rasanya seperti berangkat dari status Karyawan Harian Lepas (lebih rendah daripada KTT) tiba-tiba naik jabatan menjadi Supervisor. OSIS pun aku tak pernah ikut, tak pernah punya pengalaman organisasi apapun, mungkin hanya pernah ikut sebagai panitia lomba Agustusan di RT itupun pangkatku hanya sebagai Bawang Kotong alias pelengkap-lengkap jumlah personil dan akupun tak berkontribusi apapun.

Menjadi anak HIMA mendapat status yang berbeda dari teman-teman kebanyakan. Ia lebih banyak dikenal oleh kakak kelas dan adik kelas. Mukanya paling sering nongol di acara-acara penting di kampus, hingga dosenpun hafal. Diwaktu sore, jika yang lain sedang bermalas-malasan di kamar kos atau nongkrong cari sinyal Wi-fi di gazebo sementara anak HIMA sedang duduk bersila melingkar dengan anggota lain rapat membahas program, padahal kebanyakan anggota adik kelas hanya “menyimak” saja. Anak HIMA dirasa paling spesial karena ia punya hak dispensasi ijin tidak hadir kuliah. Dan ia juga memiliki prioritas sebagai penerima Beasiswa. Ada pahit dan ada manisnya. Jer Basuki Mawa Bea, alias No Pain No Gain.

Ada acara penanaman Mangroove di Pantai Tirang. Sifatnya volunteer bagi yang mau ikut. Kebetulan sudah lama aku tak liburan kemanapun. Rasanya sangat jenuh. Hingga sebelum acara itu dimulai aku sudah sempat berkhayal tentang bagaimana indahnya acara disana nanti, menanam pohon, melihat pantai, bermalam dengan api unggun dan tenda. Hanya aku, mas Zaenal dan mas Fiston saja yang menyanggupi. Kami hanya duduk dari sisi mushola FIS, menyangga dagu masing-masing, mengamati teman-teman KSG yang sedang mengangkat-angkat barang ke truk sebelum pemberangkatan. “Ah kayane nggak ada yang dikenal lho, apa bali baen njuh lha” cletukan kata-kata mas Zaenal itu menurunkan mentalku. Payahnya mas Fiston malah nyanyi lagu “Setuju”. Aku mangkel dengan keputusan mereka, biar begitu aku memutuskan untuk tetap ikut. Tak peduli aku tak berteman disana, atau barangkali aku malah dapat teman. Sesuatu yang sempat kukhayalkan keindahannya dan hampir kesampaian itu jika dibatalkan rasanya benar-benar mengecewakan. Seperti senggama yang di tunda di tengah jalan, kecewa berat pasti.

Ketika semua sudah masuk truk, beruntung, tiba-tiba Nanang dan Sastro yang sedang berboncengan sehabis ikut acara Musafir, melihatku di bak truk belakang waktu itu. “Tenang wae Gan, mengko sore tak susul karo Nanang”. “Sip!!!”.

Dalam hitungan sekian tahun, aku baru kembali kali ini melihat pantai. Sastro dan Nanang menepati janjinya sore itu dan aku kembali tak sendirian. Mereka berdua melepaskan dahagaku yang haus akan adanya teman. Betul memang, persahabatan akan terasa berbeda jika setting latar kita berada di tempat yang indah. Semua akan terasa lebih mesra. Ini adalah sebuah inspirasi.




Rasa lelah penanaman Mangroove tadi siang terobati oleh indahnya sunset senja memerah di ufuk barat. Dan kehadiran dua manusia dari dunia peri itu, akan membawa banyak perubahan dalam hidupku di masa yang akan datang.






SEKIAN






Catatan:
  • Enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 24 Oktober 2009 kami bertiga dan beberapa teman seangkatan bertekad mendirikan organisasi kecil: Ekssara, yang dideklarasikan di tepian kebun teh, malam hari di Promasan. Sebuah pengalaman yang tak akan pernah terlupakan, kecuali jika terkena pikun.

  • Dalam waktu dekat nama Ekssara diubah menjadi Exsara, kemudian aku ditunjuk Nanang sebagai kepala Divisi Merpati tanpa ada inaugurasi. Akhir bulan Oktober 2009, Exsara berhasil menerbitkan buletin pertama kalinya bernama “Buleexs” yang disebarkan di C2 dan penjuru PKM di Unnes. Fakta uniknya: para loper Buleexs ini beroperasi tengah malam dari PKM ke PKM sambil menukar sandal jeleknya dengan sandal yang lebih bagus.

  • Tanggal 23 Desember 2009 aku menulis gugatan kontroversial dan kukirimkan ke seluruh inbok teman-teman HIMA 2008-2009 bahkan Pak Arif. Gugatan itu berjudul“Divide et Impera”, guna menyangkal prasangka buruk publik tentang Exsara, menyindir sekaligus mengkritik pihak-pihak tertentu yang memfitnah Exsara. Berkat tulisan itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku aku diteror untuk dihajar oleh kakak kelas. Tapi itu Cuma teror. Revolusi memang pedih. (Demi menjaga keharmonisan dari kedua belah pihak, akhirnya tulisan gugatan ini, diarsipkan secara rahasia, dan tidak dipublikasikan kembali)

  • Satu tahun kemudian, tanggal 14 November 2010 aku secara resmi meletakkan jabatanku sebagai Kepala Divisi Merpati dan digantikan oleh Irfan Udin (’09) yang dipilih secara penunjukan dan aklamasi.

  • Selang 2 bulan kedepan tanggal 11 Januari 2011 (11/1/11), aku bersama Lutfi Amiq (Ketua Exsara saat itu) adalah orang pertama yang menulis AD-ART (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) untuk Exsara, sebagai dasar Organisasi dan sebagai persiapan metamorfosis dari komunitas menuju kelembagaan resmi (BSO), di kepemimpinan HIMA yang akan datang. AD-ART ini dikerjakan dan selesai di Kost Dian Ratna kamar No.42 pukul 21:36. Dengan begitu Exsara telah memiliki kaki dan mengabarkan pada dunia bahwa sekarang Exsara bukan lagi roh yang bergentayangan.

  • Di tengah menjalankan tugasnya, Irfan turut terkena “Winarso’s Haters Syndrome” atau sindrom pembenci Winarso, sehingga dia tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan melakukan desersi. Untuk sementara aku kembali taking overmembimbing Divisi Merpati untuk kepengurusan darurat hingga musyawarah anggota berikutnya, baru secara resmi tepat posisiku digantikan oleh Marlina.

  • Tanggal 22 September 2012, sekaligus hari-hari bebasku menuju wisuda, aku menyempatkan diri menemani Exsara yang telah tumbuh subur untuk acara Lawatan sejarah di Kota Semarang. Perkenalan dan sambutanku kepada calon anggota baru Exsara di taman Tugu Muda menjadi sambutan terakhirku di Exsara saat itu.

  • Pada ulang tahun Exsara yang ke-3 (24 Oktober 2012), kami hanya menyempatkan makan bersama sederhana di Angkringan sego kucing tikungan patemon depan masjid, bersama Sastro, Agung, Bayu, Slamet, Ipul, dll. Ini adalah terakhir kaliku dalam kebersamaan dengan Exsara.

  • Tepat tanggal 30 Oktober 2012 pagi aku telah pergi tanpa pamit meninggalkan Exsara, meninggalkan jurusan Sejarah, meninggalkan teman-teman, dan meninggalkan Kota Semarang beserta peradabannya.

  • Selamat tinggal Semarang, Selamat datang Purbalingga





Im comin’ home, Im comin’ home
Tell the world I comin’ home
Let the rain, wash away all the pain of yesterday
I know my kingdom awaits
They’ll forgivin’ my mistake
Im comin’ home, Im comin’ home
Tell the world I comin’ home.
[Coming Home – By: Diddy featuring Skylar Grey]







The END


Tulisan ini atas pesanan dari Divisi Merpati Press Exsara 2013. Sebuah warisan untuk mengenang para Vamsakerta Exsara. Nantikan tentang tokoh selanjutnya

0 comments:

Post a Comment