Monday, May 26, 2014

Winarso atau Fidel Sastro

27 August 2013 at 10:51

Embun tebal sedang bergayut di kompleks Gedong Songo, pagi itu. Mas Vicki Fauzi Hasan masih semangat menjadi MC nyerocos melantik kakak terganteng, tercantik, teraktif, tergalak dsb. Revita dan Toni merasa paling beruntung mendapat anugerah peserta tercantik dan tertampan. Furqon otomatis menjadi peserta tercerdas, pemenang cerdas cermat yang membuat seluruh panitia dan peserta geleng-geleng kepala. Kelompokku mengagungkan Setya Agung yang meraih label peserta teraktif. Tinggal yang ditunggu adalah ‘siapa yang mendapat kutukan sebagai peserta termalas?.

Jawaban itu ternyata jatuh pada teman di kelompok Gatotkaca, “Winarso”. Segenap orang bertepuk tangan sambil tertawa, termasuk aku. Kok bisa Winarso? Seperti tidak beralasan. Sejenak flash back tentang apa yang terjadi 10 jam yang lalu. Winarso tampil ngédan bersama teman sekelompoknya: Puspita, Nanang, Aan, Ning Eny, Novian menyanyikan sebuah lagu saat pentas. Suasana sangat meriah, banyak mata tertuju pada Winarso yang menyanyi sambil bermain gitar, di sisi kanan dan kiriku terdengar teman-teman nyletuk “Hahaha tukang ojeg” ada juga “Wah Didi Kempot”. Memang betul kala itu Winarso memang tampak seperti tukang ojeg, memakai jaket kulit hitam dan ketu ala petani sayur di Dieng. Terlebih seandainya ia sambil menunggang RX King dengan jerit knalpot yang sangat nyaring, wah benar-benar Ojegger ng-gunung sejati. Itulah yang ku tahu tentangnya dan tak ku mengerti mengapa ia menjadi peserta termalas.

Sekarang ia sering dipanggil Sastro. Tidak ada asal usul yang pasti. Semenjak di MAN ia telah memisahkan diri dari orang tua. Indekos sendiri bersama temannya, lepas dari kontrol orang tua semenjak dini dan mampu sekolah hingga kuliah karena didanai kakaknya. Awal kuliah tak tahu harus berteduh dimana, hingga masjid FIS menjadi pilihan terakhir dan belum tahu menahu tentang PKM FIS. Kutukannya menjadi peserta termalas di KEMAS membuatnya menjadi familiar oleh siapa saja, termasuk diakrabi oleh mas Vicki Fauzi Hasan aktivis HIMA saat itu. Dari kutukan berubah menjadi anugerah baginya, ruang HIMA sejarah yang tak berpenghuni dan hampir-hanpir tidak digunakan semestinya sebagai basecamp aktivis mahasiswa Sejarah. Mas Vicki menawari Winarso untuk menjaga sekaligus menghuninya, bebas biaya. Itulah awal kisah di rumah barunya.

Tinggal di PKM tanpa lencana aktivis atau tak tergabung organisasi kampus tentu bagaikan berkicot tanpa cangkang. Jika disentuh, tak tahu lagi kemana ia akan berlindung, padahal PKM seperti gearbox dalam mesin motor selalu bergesek ada yang bergerak ke dalam ada yang bergerak keluar. Hingga akhirnya ia ikut menjadi fungsionaris HIMA Sejarah dibawah dinasti Diyah Ari dan duduk di Departemen E di bawah kadep, mba Ika van Persie. Umumnya dalam awal kali forum HIMA mereka yang paling aktif berbicara adalah mereka kakak kelas, aku dan kawan-kawan fungsionaris seangkatanpun masih canggung bicara apa lagi memberikan usul pendapat. Tapi Winarso berbeda dari teman-teman kebanyakan, mungkin hanya dia dan Artha saja dari angkatan kami yang terkenal vokal di HIMA 2009 kala itu. Semua tidak lain adalah hasil didikanya dengan orang-orang PKM.

Tingkahnya yang menonjol di HIMA membuatnya merangkak ke tahta selanjutnya, yaitu Ketua (Koordinator) untuk kelas 2B untuk acara KPS 1 di Karanganyar-Jogja. Persahabatanku mengental dengan Nanang ketika KSG mengadakan acara peringatan hari Bumi tanggal 22 April 2009, bagitu juga dengan Winarso. Mereka bagai dua kurcaci penghibur yang dikirimkan Tuhan untukku hari itu. Winarso nampak semangat dan mampu memberi sambutan untuk perwakilan HIMA Sejarah kepada rekan-rekan KSG, TheMat, Biologi, SAR dsb. Aku tersadar bahwa keberanian dan inisiatif memberi sambutan ini, adalah pancaran sikap kepemimpinan. “Akankah benar, Winarso nanti menjadi seorang pemimpin?” bisik benakku, “apakah di BSO, UKM, HIMA, BEM ataukah BEM KM?”, kita lihat saja nanti.

Peringatan Hari Bumi tanggal 22 April 2009 di Pantai Tirang ini dijadikan referensi bagi Winarso, untuk mendirikan apa yang disebut dengan Exsara. Budaya makan bersama Exsara yang kini yaitu menggelar nasi memanjang diatas kertas minyak atau daun pisang, kemudian atasnya lagi diberi taburan lauk, ini tidak lain adalah jiplakan budaya KSG waktu itu, ada sensasi yang berbeda dalam kebersamaan. Kemudian perangkat KSG seperti tenda dum, kompor gas mini, nesting juga semua diadopsi di Exsara. Setiap peringatan hari Bumi seharusnya menjadi hari keramat bagi Exsara, karena ini hari pertama kali kami bertiga terutama Nanang dan Winarso dwi tunggal Exsara mendapatkan ilham untuk benar-benar mendirikan Exsara. Sekaligus hari kenangan untuk kami bertiga, sehingga di tahun-tahun berikutnya kami selalu ikut acara penanaman mangroove di tanggal yang sama dan di tempat yang sama. Bagi kami boleh diibaratkan jika 24 Oktober adalah 1 Muharramnya Exsara dan Gunung Ungaran adalah Mekkahnya Exsara, maka tanggal 22 April seperti 27 Rajab dan Pantai Tirang adalah Jerusalemnya Exsara. Jadi 24 Oktober adalah tahun baru Exsara dan 22 April adalah Isra miraj nya Exsara. 22 April benar-benar keramat bagi Exsara, semoga ada event spesial di setiap tanggal ini.

Belum lama aku dengar Nanang dan Winarso ingin mendirikan sebuah organisasi, setelah mereka berdua hobby jelajah kota dan sempat ikut acara dari MUSAFIR (Mahasiswa Suka Foto dan Plesir), apa lagi setelah mendapat ilham di Pantai Tirang. Sehabis keakraban kami di hari Bumi tahun 2009 itu semangat mereka bertambah. Mungkin kerena mereka merasa telah menggaet aku sebagai sahabat baru yang duduk di kursi HIMA selain Winarso sendiri. Nanang orangnya ngetutan saat itu, dan ia masih sedikit fobia dengan dunia formal, sementara Winarso itu orangnya ngototan. Ngototan bertemu dengan ngetutan adalah dua energi yang sempurna seperti Yin-Yang, alhasil mereka menciptakan sebuah co-cardExsara pertama yang didisain Winarso, meski sangat sederhana kala itu, dengan Identitas Nanang dan fotonya menggunakan kacamata hitam. Aku adalah orang Sejarah pertama yang disosialisasi tentang co-card itu. Aku hanya bilang, “Wah sip, keren, aku melu lah pokoke”. Aku adalah orang pertama yang mengakui eksistensi Exsara yang saat itu baru sekedar imajinasi dan aku merasa siap untuk mendedikasikan diri demi berdirinya Exsara yang sesungguhnya.

Persahabatanku lebih mengental dengan Winarso. Terhitung ketika ada lomba-lomba antar kelas di Jurusan Sejarah tahun 2009 yang saat itu dikenal dengan PKMS (Pekan Kreatifitas Mahasiswa Sejarah), aku ditunjuknya sabagai wakil 2B dalam lomba Artikel Ilmiah. Tidak mudah untuk mengetik naskah saat itu, harus ke rental komputer dan membayar jam sewa. Winarso membantuku untuk diketikan naskahnya di komputer PKM tepatnya ruang BEM. Aku dan Winarso bergantian mengetiknya hingga larut malam. Tulisanku saat itu masih jauh dari kopi paste, atau terlalu banyak mengutip artikel di internet, tapi murni tulisanku dan merujuk dari berbagai buku. Beruntung arsip file artikel ini ku temukan di backup flashdisk lamaku. Tercatat terakhir disave 17 Mei 2009 23:38. Itu adalah tahun, bulan, tanggal, jam dan menit pertama kali aku benar-benar akrab dengan Winarso, dan itu adalah untuk pertama kalinya aku tidur di PKM. Tidur hanya beralaskan kardus, dengan posisi komputer masih hidup dan winamp nya masih memutar lagu-lagunya Iwan Fals yaitu lagu-lagu yang akan terus mengingatkanku dengan Winarso. Seminggu kemudian, kami merayakan kemenangan artikel itu.

Aku mulai terbiasa dengan PKM. Ternyata Winarso kurang bisa merawat ruang HIMA Sejarah dengan baik. Inilah penyakit gila nomor 1 dari dia. Suasananya awut-awutan, banyak baju dan celananya yang belum dicuci berserakan diruang itu, dan tentu menjadi sarang nyamuk. Winarso memang malas mencuci baju, kadang ketika kuliah dia menggunakan baju yang mungkin sudah seminggu atau lebih belum dicuci. Ketika baju kotor baru terkumpul satu karung baru dibawa ke laundry. Tidak hanya di ruang HIMA bahkan ketika aku pertama menempati kosnya di Kalimasada juga suasananya demikian semrawut.

Tapi entah mengapa ruangan HIMA yang semrawut ini masih saja kadang dijadikan tempat tongkrongan teman-teman sejarah. Termasuk aku, ketika ada senggang antar jam kuliah aku sering mampir kesitu, daripada ke kos. Ada banyak buku di laci lemari besinya, dan aku menemukan buku: Catatan Seorang Demonstran, Soe Hok-Gie. Mulai dari situ aku jadi suka berdiskusi tentang Gie dengan Winarso. Hingga saling mengerti adanya keinginan untuk mendaki Gunung seperti apa yang dilakukan Gie. Sebenarnya aku sudah beberapa kali menolak ajakan Winarso tuk naik Gunung Ungaran bersama KSG, dengan alasan aku masih dilarang orang tua meskipun aku sebanarnya sangat ingin. Namun suatu kesempatan tiba ketika ada waktu lega di akhir pekan Winarso merealisasikan semua itu. Dan tentu soulmatenya, Nanang juga ikut. Kurang puas dengan tiga serangkai. Akhirnya berita pendakian ini disebar ke teman-teman seangkatan, alhasil ada beberapa yang ikut yaitu Feby, Harry, Aji, Marwan, dan Aris. Lima teman ini tidak lain adalah follower, jadi bisa dilihat dedikasi mereka sedikit berbeda dengan kami bertiga meski kesetiaan mereka dengan Exsara begitu kuat.

Apa yang dibayangkan akan segera terealisasi, pendakian ini sekaligus akan dijadikan acara perdana Exsara. Winarso dengan semangat membuat Pamflet, dengan maksud mencari massa. Kami tempel ke berbagai tempat di FIS, dengan judul: Pendakian bersama EKSSARA (Ekspedisi Sejarah dan Alam). Pamflet ini menuai kontroversi, terutama dari KSG, sorenya mereka merobeki pamflet kami. Exsara dianggap pesaing dari KSG karena sama-sama bertema alam, dan ini menjadi ketakutan sendiri bagi mereka bila mana KSG nantinya bisa kalah laku dengan Exsara. Winarso dan Nanang akhirnya berembug dengan KSG, akhirnya tercapai resolusi nama Exsara kepanjangannya diubah menjadi Ekspedisi Sejarah Indonesia. Pendakian ke Gunung Ungaran kali ini bukan kali pertamanya bagi Winarso, sehingga ia telah mengenal Goa Jepang sebelumnya disana. Nah lawatan ke Goa Jepang di Gunung Ungaran ini dijadikan dalih Winarso kepada KSG untuk membedakan Exsara dengan KSG. Bahkan sekali dayung dua pulau terlampaui, selain KSG tenang kembali Winarso juga sekaligus berhasil menggaet Mas Kingkong, Mas Bandot dan beberapa teman KSG untuk memandu keberangkatan kami.

Paska deklarasi, Exsara semakin berambisi. Winarso tak memilih jabatan tinggi di Exsara, ia lebih memilih menjadi wakadiv Merpati. Ketika aku hanya bisa menulis di kertas, Winarso mengubahnya ke MS Word, karena memang aku belum memiliki alat canggih itu. Aku bahkan tak berani banyak menulis untuk sebuah buletin untuk disebarluaskan, tapi Winarso justru berani membuat ide gila dengan mencari sponsor untuk penerbitan. Bahkan bisa dibilang 70% Buleexs pertama adalah tulisan dan akal-akalan Winarso. Sementara aku sebagai kadiv malah hanya menulis bagian headline news nya, itu saja dengan taraf yang paling sederhana.

Saat itu Exsara masih merasa dirinya 10%-nya organisasi, 70%-nya geng dan 30%-nya komunitas. Sehingga masih sedikit ugal-ugalan, halaman 3 Buleexs pertama malah diisi dengan informasi UCL (Uefa Champions League) yang sangat tidak nyambung dengan Exsara. Namun sungguh diluar dugaan, publikasi Buleexs pertama yang sangat minimalis itu berhasil merebut hati para mahasiswa baru Sejarah angkatan 2009. Sehingga ketika hendak dilakukan pendakian ke-2 di Gunung Ungaran sekitar bulan November 2009, banyak dari mereka yang datang berbondong-bondong ikut mendaftarkan diri, termasuk teman seangkatan: Pinky, Nadia dan Anggoro, juga kakak kelas yaitu mas Khikam dan mas Ainurizal kadepku sendiri di Hima. Hingga saat diksar di Tinjomoyo Desember 2009 jumlah mereka konstant. Akupun terheran-heran, masih belum yakin, mengucek-ucek mataku untuk menyadarkan diri apakah ini nyata atau hanyalah mimpi. Dengan anggota yang semakin banyak dan program kerja yang semakin kompleks, sekejap Exsara berubah menjadi 50% Organisasi, 0%Geng dan 50%Komunitas.

Banyak kakak kelas yang melongo, tercengang dengan berita membengkaknya popularitas Exsara di Jurusan Sejarah. Bagi mereka, kebesaran Exsara semua adalah ulah Winarso. “Siapa itu Exsara?”, “Exsara ya itu, geng nya Winarso”. Exsara itu = Winarso, bukan Nanang, bukan aku atau bukan yang lain padahal kami juga anggota dan di Exsara apalagi Winarso juga tidak mendapat jabatan yang strategis di Exsara.

Mereka bertanya lagi
“Siapa sih ketua Exsara??”
“Nanang”    
Mengernyitkan alis dan bilang “ah gak kenal tapi siapapun dia, pasti dia adalah tunggangannya Winarso”

Begitulah keidentikan Exsara dengan Winarso dimata semua orang. Kenyataan pendapat itu memang bisa dibilang tidak benar bisa juga dibilang benar. Exsara terdiri dari 10 komponen inti yaitu Vamsakerta, didalamnya pun masih terbagi menjadi founding father danfollower, tidak dapat disangkal mereka semua juga bagaikan mesin yang turut berkontribusi untuk membesarkan Exsara, jadi sangat tidak tepat jika Winarso adalah tumpuan satu-satunya Exsara. Bahkan terkadang di setiap acara Exsara ada saja teman Exsara yang mengumpat “nek ono Winarso malah rosone semrawut”. Suatu saat ketika ada anggota teman Exsara yang ingin bepergian sendiri ke Lombok, “Kapan-kapan plesiran neng Lombok pye?, tapi ra usah ngajak-ngajak, kondho-kondo Sastro ah, mengko malah semrawut tok”, ini adalah hasil pengintaianku sebagai intelijen. Namun disisi lain, Winarso memang satu-satunya orang yang paling dominan di Exsara. Hingga kini paradigma yang masih dirasakan bahwa Exsara adalah milik para Vamsakerta saja, sehingga para adik kelas yang diwarisi untuk memimpin dan mengorganisir Exsara juga merasa kalau mereka seperti sedang dititipi barang antik nan mahal dari seseorang, oleh karena itu setiap langkah perawatannya mereka harus bolak balik bertanya kepada pemiliknya karena takut salah perlakuan kalau hingga membuat fatal. Dan Winarso adalah salah satu orang yang sangat dipercaya bagi ketua-ketua Exsara sebagai tempat curhat. Ibarat Exsara adalah komunisme maka Winarso adalah Lenin-nya yang sebagai tumpuan pikiran sekaligus praktisi revolusinya. Jarang sekali ada adik kelas yang berani memveto nasehat atau usulan dari Winarso ketika bicara, sekalipun ia lebih tua dengannya, kecuali teman Vamsakertanya.

Aroma kebesaran Exsara dan Winarso telah semerbak di kampus. Muncul isu bahwa Exsara adalah alat bagi Winarso untuk memenangkan menjadi ketua HIMA nantinya. Apakah Exsara adalah partai???



WINARSO ATAU FIDEL SASTRO

Bukan Sastrowardoyo, bukan pula Sastroatmodjo tapi dia adalah Fidel Sastro.


Sastro & Castro
Sastro & Castro




Sengaja aku plesetkan nama mantan presiden fenomenal Kuba, Fidel Castro dengan nama Fidel Sastro sebagai nama panggilan Winarso. Setelah ditelusuri ternyata tidak ada sesuatu yang melatarbelakangi mengapa ia dipanggil Sastro. Berbeda dengan Bung Karno dengan panggilan akrabnya “Kusno” atau “Sosro” yang memang memiliki asal usul. Sastro tidak lain adalah nama ngetrendnya Winarso.

Dua hal yang membuat mirip antara Fidel Castro dengan Sastro (Winarso) adalah kecintaanya pada Militerisme dan Komunisme. Jika Sastro benar-benar berkembang, akankah dia menjadi the Next Fidel Castro??. Dalam militerisme misalnya, Sastro suka tapi tidak fanatik mutlak. Hampir-hampir ia akan tergabung dalam satuan 902 Resimen Mahasiswa UNNES dengan mengajak Aris. Di tengah pradiksar atau mungkin di seleksi masuk, Sastro menyerah di tengah jalan. Dikala kawan yang lain sedang disuruh lari sekian putaran, Sastro malah berhenti dan minta sarapan. Usai sarapan dikira penderitaan telah berakhir, tapi ternyata ia harus melunasi hutang lari sekian putaran, push up, pull up seperti kawan yang lain lakukan, bahkan diperlakukan lebih kejam. Akhirnya ia kapok dan mengurungkan niatnya menjadi Menwa. Sementara Aris yang tadinya tidak niat, malah ia diterima.

Meski gagal tapi bukti kecintaanya pada militer, tidak sampai disitu. Dia sering berpenampilan Army Look mulai dari celana doreng, kaos raider, kalung raider, kemeja hijau militer, topi militer berbintang tiga bahkan paling senang jika sedang berfoto bareng dengan Tentara asli. Beruntung kegilaanya itu tidak menuntunya menjadi tentara gadungan. Dia suka militer, tapi dia tidak mau mengerti bagaimana beratnya berjuang mulai dari bawah. Dia suka militer, tapi dia bukan tipe orang yang suka dikomandoi. Yang dia mau bahwa ia ingin menjadi pemimpin yang militeris, berpenampilan militer dan suka mengkomandoi. Fidel Castro tidak memulai karirnya di militer, tapi ia hanya akademisi yang kemudian suka berlatih perang-perangan untuk melakukan sebuah Revolusi Kuba seperti apa yang dia inginkan. Akupun berfikiran sama, seandainya Sastro berhasil mendirikan sebuah negara pasti dia akan membuat sistem pemerintahan yang militeristik bersama jajaran junta militernya. Alasan pertama, Sastro adalah anak bungsu, perhatikan saja dimana-mana hampir kebanyakan anak bungsu memiliki watak jika berkeinginan hendaknya harus dituruti, alias otoriter. Pemerintahan militeris sudah hampir pasti otoriter.

Pose Pidato Sastro & Castro
Pose Pidato Sastro & Castro




Dan benar bahwa Sastro adalah orang yang gila kepemimpinan. Ketika para Vamsakerta sudah lepas pemerintahan, sementara Sastro ngotot agar para Vamsakerta tetap dijadikan sebagai Dewan Penasehat Exsara. Ketika para Vamsakerta lain sudah lulus kuliah, Sastro seolah belum rela melepas Exsara berjalan sendirian ia terus “ngganduli”  Exsara agar menjadi organisasi yang terus didikte pemikirannya. Akibatnya Exsara akan takut berjalan sendirian, mereka harus bolak balik meminta pertimbangan dari yang lebih tua. Ini hampir menyerupai sistem otoriter dimana seorang pemimpin menjabat seumur hidup, meski Exsara sudah bergonta-ganti kepemimpinan namun pengaruh Sastro seolah belum ingin hilang. Biar begitu ada sisi positif yang didapat, Exsara yang masih muda memang masih perlu dibimbing, seperti halnya anak kecil, agar ia tidak berlaku ugal-ugalan. Vamsakerta ibarat orang tua dan ia harus selalu perhatian kepada anaknya yang masih kecil, jika tidak maka kelak anak bisa menjadi generasi yang semrawut atau bahkan kadang durhaka. Vamsakerta adalah sejarah Exsara, itulah mengapa setiap negara menginginkan warganya selalu mengenang sejarah dan jasa para pahlawannya yaitu agar ia bisa sampai tujuan. Orang yang tidak tahu sejarah seperti orang yang matanya ditutup lalu dijatuhkan sendirian di tengah padang pasir, ia tidak akan tahu kemana ia akan pulang atau melanjutkan perjalanan ke tujuan. Kini Exsara telah berkembang menjadi BSO terbesar di Jurusan sejarah, bahkan telah dikenal oleh mahasiswa-mahasiswi IKAHIMSI se-tanah air.

Biar bagaimanapun pengaruh Sastro dan Vamsakerta tidak akan abadi di Exsara. Apa yang dilakukan Sastro dengan terus “ngganduli” Exsara adalah seperti gadget Power Bank. Yaitu ketika batrai tenaga para Vamsakerta telah habis, dan belum menemukan stop kontak untuk men-charge kembali, maka Sastro adalah power cadangan yang akan mengantarkan Exsara agar bisa terus hidup. Hingga ketika menemukan stop kontaknya, Exsara sudah siap lepas landas berjalan sendiri. Sekarang misi Exsara bagi generasi penerus adalah memilih, menemukan atau mencalonkan diri sebagai Hayam Wuruk dan Gajah Mada di Exsara. Meski mereka bukan Vamsakerta Majapahit tapi mereka adalah orang-orang yang paling dikenang dalam sejarah Kejayaan Kerajaan Majapahit.

Sifat keanakbunggsuan Sastro membuat dirinya tercermin gaya radikalnya. Mudah sekali ia meluncurkan protes, suka sekali mengkritik, ahli dalam menyanggah, dan profesional dalam menyampaikan rasa tidak terima, tidak setuju. Mungkinkah ini gaya seorang aktivis yang hendak menghancurkan dominasi pihak yang kurang menguntungkan?. Ia sangat sensitif sekali dengan calon-calon pemimpin entah itu HIMA atau BEM yang tidak pernahseserawungan ke PKM atau minta wejangan darinya, maka bersiap-siaplah ia akan menjadi incaran kritik dari Sastro. Kritikan Sastro yang paling kontroversial adalah tetang protes pengadaan dana SPL yang dianggap tinggi dan tidak transparan, terlebih-lebih ia berani membeberkan hal ini langsung kepada pak Arif lewat inboxnya. Berkat kelancangannya ini, ia dikabarkan telah di-Black List. Belum lagi di setiap agenda rutin rapat koordinasi KPS (Kajian Peninggalan Sejarah), Sastro hapir selalu ikut serta dan selalu menyanggah keputusan Dosen Panitia. Ini adalah pernyataan yang sudah tidak usah dibuktikan lagi, cukup dirasakan saja ketika mengenal dan bergaul dengan dirinya.

Baginya tidak ada yang paten di dunia ini. SIKADU, sistem tercanggih Unnes itupun masih bisa dilobi. Akumulasi SKS yang belum cukup untuk mengikuti PPL, tapi Sastro bisa. Mata kuliah Statistik II yang tadinya dianggap wajib, berubah menjadi sunnah dan boleh dihapus. Pembekalan dan upacara penerjunan KKN saja yang sifatnya wajib tapi Sastro malah mangkir dengan bepergian ke Jakarta, tapi nilai KKNnya bagus-bagus saja. Semua ini bukan karena Sastro adalah anak emasnya kampus, justru karena dia adalah orang yang telah diBlack List atau Unwanted Person sehingga pihak kampus mempermudah segala urusannya agar ia cepat lulus dan pergi tidak lagi menggangu dengan sering mengkritik Unnes.

Sifat suka mengkritik, sifat suka protes biasanya satu paket dengan yang namanya “suka mendoktrin atau suka menasehati”. Baginya, ketika Diksar Exsara adalah moment wajib untuk diadakan indoktrinasi untuk menumbuhkan rasa loyalnya kepada Exsara. Senang sekali kalau disuruh untuk berbicara, apa lagi urusan doktrin mendoktrin. Aneh tapi nyata, dengan kemampuan ini ia menjadi orang yang sangat dihormati dan dipercaya oleh adik-adik kelas. Bahkan beberapa orang rela seolah menjadi ajudannya diantaranya adalah: Syaiful Anwar, Slamet Waluyo, Adit, dan mungkin banyak kader-kader ajudan lain yang belum aku ketahui. Satu doktrin populer Sastro yang paling aku ingat dan mungkin paling mujarab baginya adalah kata-katanya yang diambil dari Mario Teguh: “dik kalian seneng ngga kalo suka dimanfaatin??”. Audiens pasti serentak akan jawab “nggaaaak”. Sastro melanjutkan “tapi tahu ngga dik kalo menurut agama bahwa sebaik-baiknya orang adalah orang yang memberi banyak manfaat bagi orang lain”. Disinyalir doktrin inilah yang telah membius Syaiful Anwar (Ipul) cs. Doktrin lain yang tidak kalah populernya adalah doktrin tentang persamaan hak, sama rata, sama rasa yang tidak lain adalah karakter pemikirannya yang ke-Kiri-an. Ini juga paling sering disampaikan kepada banyak orang disekitarnya, termasuk anggota Exsara, tujuannya sebenarnya baik yaitu agar dalam persahabatan tidak mengenal lagi gap-gap pembatas antara sikaya dan si miskin atau si suku A dengan suku yang lain.

Ketika Exsara sudah ada di genggaman, maka tidak perlu Sastro berkampanye berlebihan untuk mengejar singgasana Ketua Hima Sejarah. Karisma kepemimpinannya sudah terukir ketika ia menjabat sebagai Ketua Panitia KEMAS 2009. Aku tahu persis, saat itu dia bekerja jauh lebih keras daripada panitia yang lain. Jika jabatan sebagai Ketua atau Kepala biasanya hanya bisa tengok kanan tengok kiri tapi kali ini dia benar-benar bekerja total dengan menaruh “kepalanya” sendiri sebagai kaki untuk berjalan. Popularitasnya meledak seketika di kalangan adik-adik kelas. Lebih unggul dibanding ketua Himanya sendiri, Diyah Ari. Ditambah lagi dengan keterlibatannya di Exsara, dia menjadi kakak kelas yang paling sering terlihat tampangnya oleh adik-adik kelas.

Menjelang akhir rezim Diyah Ari. Muncul isu-isu siapa saja yang akan mencalonkan diri sebagai ketua HIMA Sejarah periode 2009-2010. Nama yang muncul adalah Winarso, Anggoro, Annas dan Erika, sepertinya mereka adalah orang-orang yang paling berpengaruh di angkatanku. Erika adalah aktivis Pramuka, tapi dia tidak ikut HIMA sebelumnya dan tidak memiliki sertifikat PKMTD, meski dia cukup legitimate dari segi kecakapannya tapi dia sendiri merasa ganjil sendiri karena belum mencicipi organisasi politis tersebut. Anggoro orangnya kalem, tidak heboh, tidak suka cari muka, sangat disiplin, tekun dan cekatan. Di HIMA ia menjabat sebagai Sekertaris dan sempat menjadi Ketua Panitia Kompetisi Sejarah tahun 2009. Seharusnya ia menjadi yang paling favorit, sayangnya isu hanyalah isu, kenyataanya dia tidak bernafsu menjadi ketua HIMA, dia hanya ingin menjadi orang yang berkontribusi saja. Sedangkan Annas, dia terlihat cakap sebagai pemimpin, paling agamis, dan lagi-lagi dia adalah golongan orang yang tidak bernafsu. Untuk menghindari pengaruh rohisme maka rezim Diyah Ari malah menunjuk Annas sebagai ketua KPU Hima kali ini, sehingga ia tidak bisa dicalonkan sebagai ketua HIMA. Sedangkan Sastro (Winarso), dia adalah calon yang paling dielu-elukan oleh adik-adik kelas, namun dibenci oleh kakak kelas (khususnya angkatan 2006). Mereka telah mengenal Sastro dari segi eksternalnya saja sebagai anak yang terlihat semrawut dan seperti orang kurang waras jika ditunjuk sebagai pemimpin dan yang mungkin paling mempengaruhi adalah Sastro bukan anak yang menonjol di prestasi intelejensinya, beda dengan Erika, Anggoro dan Annas yang memang termasuk dalam TOP-5 nilai akademisnya di angkatanku. Selama ini Sastro dianggap sebagai orang semrawut dan terlihat sok-sokan aktif dan vokal di HIMA. Otomatis, orang menjadi tambah dengki ketika orang sesemrawut Sastro tiba-tiba mendirikan organisasi (Exsara) dan memiliki banyak masa. Maka banyak pihak yang ingin membendung aksinya. Jangan sampai singgasana ketua HIMA diduduki oleh orang yang tidak intelek, yang akan mempermalukan HIMA Sejarah Unnes di kancah nasional. Namun mereka lupa dua hal bahwa Sastro adalah satu-satunya anak HIMA Sejarah didikan orang-orang PKM saat itu dan bersertifikat PKMM-TD.

Secemerlangnya kapasitas Anggoro, tapi ia tidak memiliki masa, maka diculiknya oleh Sastro dibujuk untuk mendampinginya sebagai calon Wakil Ketua HIMA. Kesiapan dan kesanggupan itu telah bersatu dalam simbiosis mutualisme, keduanya tidak saling berebut menjadi ketuanya. Akhirnya di sebuah malam penutupan pendaftaran calon ketua HIMA, Sastro menyerahkan formulirnya di kosnya Annas sekitar Kalimasada. Pasangan Sastro dan Anggoro menjadi calon tunggal dalam pemilu HIMA kali ini.

Saat-saat fit and provert test inilah saatnya dapur debat digelar. Semua yang kontra atau oposisi kepada Sastro mulai terlihat, hampir semua angkatan 2006 menghujat Sastro dengan kritikan yang juga membawa-bawa nama Exsara. Dari angkatan 2007, Inisial D.A.R paling vokal membendung laju Sastro dan dari angkatan 2008 sendiri hanya Inisial E.W.N yang berani berkoar-koar tentang sisi buruk Sastro, dan dari adik kelas angkatan 2009 mereka hanya bisa bertepuk tangan semarak menyemangati Sastro ketika ia bisa menjawab semua tuduhan, kritikan dan pertanyaan dengan bijak. Ini adalah era yang paling panas di Jurusan Sejarah, dan Sastro telah dinyatakan Layak Bersyarat.

Fitnah-fitnah dari oposisi pun datang menimpanya. Berdasarkan hasil pengamatan intelijen, inisial D. A.R-07 telah memanas-manasi para pimpinan BSO MUSAFIR bahwa MUSAFIR akan dileburkan dengan HSC menjadi organisasi baru yang bernama Exsara jika Sastro resmi menjadi ketua HIMA. Pimpinan MUSAFIR yang tengah terbakar itu, Sastro datangi debat dan luruskan bahwa fitnah itu memang tidak benar. Dasarnya MUSAFIR memang telah vakum tidak ada kegiatan apapun dalam kurun waktu sekitar satu tahun, isu peleburan itu hanya menjadi shock therapy saja namun tidak ada gerakan lebih lanjut untuk menghidupkan kembali MUSAFIR. Hal ini serupa dengan perkara perdebatan perlu atau tidaknya doa qunut dalam Sholat Shubuh namun kenyataanya mereka tidak pernah Sholat Shubuh. Generasi MUSAFIR tahun 2009 itu menjadi Simpai Keramat (Orang terakhir dalam suatu klan) yang sudah tidak beranak lagi dan di Konggres tidak ada perwakilan siapapun. Inilah sejarah musnahnya MUSAFIR.

Sastro juga mencoba bersilaturahmi dengan Vamsakerta HSC yaitu mas Saiful Amin. Aku pura-pura tidur namun sambil nguping pembicaraan mereka. Mas Saiful mengampuni Sastro dan mengakui kalau isu itu tidak benar bahkan beliau setuju-setuju saja dengan adanya Exsara di Jurusan Sejarah ini. “Saya setuju-setuju saja asal itu memperkaya kegiatan positif di Jurusan Sejarah”, dengarku. Akhir-akhir itu Sastro justru sering curhat kepada mas Saiful Amin, juga ke mas Jati Amarullah. Banyak pertanyaan muncul “Kalau ingin memperkaya kegiatan positif di jurusan Sejarah, kenapa tidak menghidupi/ membesarkan saja MUSAFIR atau HSC??? Tidak usah mendirikan organisasi baru?”. ”Ini memang terkesan seperti gerakan separatisme”, aku dengar sendiri dari ungkapan kritik ini dari Annas sebagai kader HSC. Ini memang tidak sepenuhnya salah Sastro, ia menyadari bahwa dia sebelumnya bukan orang strategis di kedua organisasi tersebut, sehingga tak ada kuasa baginya untuk iseng-iseng menstarter motor organisasi tersebut. Lebih tepatnya akan terkesan seperti mengkudeta, dan itu tidak etis. MUSAFIR sudah sekarat, HSC di bawah mas Zaenal yang terkenal brilian itu nyatanya lesu seperti sedang kekurangan tenaga. Sehingga Sastro memutuskan membuat organisasi sendiri sebagai inisiatif dan niat mulianya.

Operasi Divide et Impera (politik adu-domba atau pemecah belah) dari para haters nya Sastro, gagal terbentuk berkat aksi silaturahmi Sastro kepada kedua organisasi tersebut. Sekarang tinggal menghadapi politik Embargo yang lebih membuatnya resah. Beberapa orang PKM direncanakan akan disuap dan didoktrin agar mereka mendepak Sastro dari PKM. Dengan kata lain mengasingkannya agar tidak bisa mempengaruhi orang lain dan memutus hubungan solidaritas dari orang-orang PKM yang dicintainya. Bagi mereka PKM adalah tempat yang berbahaya daripada tempat seminar. Sastro akan menjadi manusia tangguh dan berkembang jika ia terus di PKM. Serasa hampir menangis Sastro dibuatnya mendengar konspirasi ini. Tak pernah disangka Sastro dulu pernah menjilat “pantat”nya D.A.R dan V.F.H dengan mengabdikan diri menjadi timsukses mereka berdua menjadi Ketua HIMA Sejarah dan Menjadi Ketua BEM FIS, memasang pamflet, memasang baliho, membagi rokok. Kini bukanya balas budi yang didapat, justru mereka berdua malah memukul-mukul “pantat” Sastro. Dalam dini hari yang panjang di pelataran toko tutup sekitar gang Cempaka, Sastro menceritakan kisah ini semua kepada kami Vamsakerta. Dalam kepasrahanya dia mengungkap “yo wis lah nek misal mengko aku dikudeta ya ga popo”.

Sebelum operasi embargo itu dilancarkan. Justru saat-saat itu ia lebih dekat lagi dengan orang-orang PKM. Bom yang seharusnya meledak dahsyat, tiba-tiba terjinakkan. Akhirnya semua operasi ini berhasil dilewatinya. Gertakan-gertakan Angkatan 2006 kepada Sastro dan Exsara hanya ibarat mengertak namun sambil berjalan mundur, tangan mereka telah diborgol oleh waktu mendekati paripurna kuliah. Dan yang paling tragis adalah D.A.R, ia bagaikan Aidit yang gagal mengkudeta Bung Karno yang berakibat PKI giliran dibantai. Ini adalah titik balik, giliran D.A.R yang terasingkan. Berita tentang kemelut ini semua seolah telah dimengerti oleh adik-adik kelas dan teman seangkatanku. Paranoid bagi D.A.R untuk berangkat ke kampus. Sementara Sastro dianggap sebagai pemenang dalam ujian ini semua. Tanpa aksi balas dendampun D.A.R sadar bahwa ini adalah saatnya mengasingkan diri. Dia akhirnya menjadi korban akan kemelut ini semua. D.A.R adalah mahasiswi Sejarah yang mungkin tidak akan menamatkannya sebagai Sarjana disini.


Ketika Jepang berhasil dikalahkan dengan bom Atom,
Ketika Rusia menyerah kepada Demokrasi,
Ketika rezim Taliban Afghanistan berhasil digulingkan,
Ketika Iraq berhasil diluluh lantahkan,
Ketika Saddam Husein berhasil dicekik lehernya,
Dan Ketika Osama bin Ladin berhasil ditewaskan,
Namun Fidel Castro tetap hidup di singgasananya, bersama Kuba, dan Komunismenya hingga jenggotnya panjang dan memutih.
Selalu tegar, selalu selamat dari ancaman maut CIA dan Amerika.
Itulah Fidel Castro, seperti sahabatku Fidel Sastro (Winarso).

Pose Merokok Castro & Sastro
Pose Merokok Castro & Sastro




Tahun pertama kegemilangan Exsara, terus dihadapinya dengan bijak apapun keputusannya. Sastro sebagai Ketua HIMA belum mengangkat Exsara sebagai BSO di Jurusan Sejarah. Sungguh terkesan aji mumpung jika Exsara langsung menjadi BSO, ditakutkan akan lebih banyak percikan-percikan dengki lagi dari para haters. Seperti mendapat sebuah keberkahan dari langit, hampir dari semua Vamsakerta mendapatkan beasiswa. Atas ide dari Sastro, kami menyisihkan dana itu untuk membesarkan Exsara, serta beberapa tambahan sumbangan lain dari teman-teman Sejarah 2008 yang juga lolos beasiswa. Jika HSC dulu dibesarkan oleh Mas Saiful dan Tsabit menggunakan dana hasil hadiahnya dari PIMNAS dan proposal yang lolos, maka Exsara menggemukan kasnya dari solidaritas Vamsakerta dan teman-teman Sejarah 2008. Meski bukan BSO akan tetapi Exsara menjadi komunitas yang solid dan kaya akan acara, termasuk mengajak buka bersama dengan anak HSC. Rasa bersitegang kedua organisasi ini seolah lenyap. Tahun 2009 tiba saatnya Sastro harus mengurangi pengaruhnya di Exsara untuk sementara waktu, dia memiliki amanah yang lebih penting sebagai sebagai Ketua HIMA. Mayoritas anggota Exsara dari sejarah angkatan 2009 telah menjadi anggota HIMA bersama Sastro. Sungguh identik, Orang HIMA adalah Orang Exsara. Orang Exsara menguasai kursi HIMA. Exsara berdiri menjadi seperti sebuah partai dan terus menerus memproduksi kader-kader menjadi Ketua HIMA Sejarah. Hingga pada Kekhalifahan HIMA dibawah Gesang Rahmawan tahun 2011, Exsara baru resmi diangkat menjadi sebuah BSO.

Satu persamaan lagi antara Fidel Castro dengan Fidel Sastro, yaitu pemikiran komunismenya. Semenjak berdirinya kampus ini yang namanya PKM, atau mungkin dulu hanya ada pendopo FE umumnya dihuni oleh orang-orang Kiri, kata guru Sejarah SMAku dari IKIP Semarang 1998. Ada beberapa kemungkinan mengapa tempat seperti ini akhirnya mencetak paham Pemikiran Kiri dari beberapa Mahasiswa yang tinggal didalamnya. PKM adalah wadah melatih organisasi, otomatis didalamnya mendidik anti individualistik. Sehingga PKM betul-betul dimanfaatkan secara maksimal sebagai rumah gerakan, dan dapat dimaklumi jika suasana ruangannya berantakan. Karena saling kaya akan interaksi, mereka membentuk solidaritas menganggap penghuni tetap PKM sebagai lebih dari sekedar saudara. Tidur bersama, makan bersama, laptop dipakai bersama, rokok join, helem join, sandal join. Sampai pada akhirnya mereka merasa bahwa dalam berkehidupan ini tidak ada lagi yang namanya hak milik pribadi, semua orang memiliki hak yang sama. Sehingga di PKM sering ada kejadian sandal diambil orang tanpa ijin, helem diambil orang tanpa ijin, Sepatu diambil orang tanpa ijin atau barang-barang yang lain. Sebenarnya itu bukanlah kasus pencurian tapi itu adalah siklus atau rolling saja kemanapun perginya tetap akan kembali kesitu. Orang yang tidak terbiasa tinggal di PKM dengan paham Kirinya, maka setiap harinya merasa seperti kehilangan sesuatu.

Itu adalah praktek komunisme secara sederhana yang diterapkan Sastro dkk di PKM. Secara ideologispun Sastro juga sangat mendukung. Menurutku adalah karena kefasihannya dalam berorganisasi. Disinilah ia mulai mendapatkan titik-titik gairah api abadinya secara alami untuk menyukai bidang politik. Dalam sejarah memang perbedaan yang menonjol antara Sekolah Tan Malaka dengan sekolah-sekolah lain adalah adanya pelatihan dalam berorganisasi. Mereka dilatih matang untuk berorganisasi dan memupuk solidaritas dengan temannya. Murid-murid juga diajarkan untuk memperhatikan kaum terhina. Tan Malaka menanamkan cita-cita agar setelah dewasa berkewajiban untuk membela dan membebaskan kaum proletar dari penindasan. Mungkin Sastro belum pernah katam dengan bukunya Harry A. Poeze atau mungkin baru baca Tan Malaka di wikipedia, tapi kefanatikannya hampir tak tertolong. Selalu mengkait-kaitkanya dengan Islam dan Pancasila, bahwa Komunis adalah satu-satunya ideologi yang cocok dengan Islam khususnya konsepsi tentang kepedulian terhadap sesama, dan Pancasila di sila ke-5. Satu hal yang luar biasa dan sangat saya kagumi kepada orang-orang Kiri, termasuk Sastro adalah itu, RASA KEPEDULIAN TERHADAP SESAMA yang benar-benar ia terapkan. Bahkan rela mengorbankan waktu dan tenaganya, untuk itu semua. Dia rela berdemonstrasi demi adik kelas, dia rela membuat esay kritik kepada eksekutif kampus demi adik kelas, dia mendirikan Exsara demi adik kelas, dll.

Itulah Sastro, adalah orang yang penuh pro dan kontra. Itu adalah sebuah hulu/ filosofi mengapa banyak beberapa mahasiswa-mahasiswi yang kagum dan ngefans dengannya (bukan dari sisi ketampanannya). Namun beberapa pihak juga banyak yang kontra dengannya.


Sastro akan menghadapi tantangan berat di masa depan, apakah ia akan tetap pada keidealisannya itu mempropaganda paham Kiri, radikal, kritikus, Rebels, ataukah dia akan menjadi menusia yang tunduk mengikuti arus zaman?


Akankah Sastro akan berkembang hingga namanya tercantum di nomor 101 dalam bukunya Michael H. Hart tentang sekumpulan orang yang palingberpengaruh di dunia?


Akankah namanya kelak akan tercantum dalam ensiklopedi Kiri, berjajar dengan Karl Marx, Eangels, Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, Ho Chi Minh, Kim Jung Il, Fidel Castro, Che Guevara, Pol Pot, Yosef Broz Tito, Semaoen, Tan Malaka, Alimin, Aidit dan terakhir Winarso?


Fidel Castro sedang bergerilya, Fidel Sastro sedang mendaki gunung
Fidel Castro sedang bergerilya, Fidel Sastro sedang mendaki gunung





Atau mungkin Sastro akan memilih pulang ke rumahnya membantu orang tuanya bertani di desa Kletek yang dikepung hutan jati pedalaman Kabupaten Pati yang damai. . . .



SEKIAN

0 comments:

Post a Comment