Monday, May 26, 2014

LIMA MENIT BERSAMA NANANG PRATMAJI

7 July 2013 at 08:25

“Apa kau paham, Nanang itu rupanya seperti apa?” tanyaku pada teman kuliahku pada hari pertama kuliah. Aku mencari-carinya. Bu Nina telah membagi kelompok dan tugas Sejarah Eropa. Teman sekelompokku telah meregisterkan diri padaku, dan tinggalah Nanang, dimanakah dia?. Kawan-kawan kuliah satu per satu pulang.
Masih ku bertanya-tanya di esok harinya. “Apa kau paham, Nanang itu yang seperti apa?”. Maksimal menjawab  “Nanang yo bocahe sing koyo ngono iku lah pokoke”. Tidak ada jawaban yang lebih terang.

Itulah awal pencarianku terhadap Nanang. Kelak aku mengenalnya dan mengerti bahwa Nanang memang seperti lelaki kebanyakan. Jika di pasar ia adalah tukang tawar. Jika di loket tiket dia adalah jago sandiwara serius agar dapat kortingan. Jika bertemu dengan orang yang kaku, dan sok tegang, dia bisa mengubahnya menjadi rekan komedinya. Dan ketika sedang bicara dengan orang dungu, Nanang adalah ahli jail mencuci otaknya dan membuat orang itu seperti tambah dungu.

Sosok yang kelak menjadi  fouding father  kami yang humoris. Tubuhnya pendek seperti celengan. Wajahnya sebenarnya hampir tampan mirip Anjasmara seandainya dia tinggi dan proporsional, namun karena pendek nan gemuk ujung-ujungnya teman-teman  menyamakannya dengan postur Pak Romadi, dosen kami.

Lagaknya yang suka guyon membuatku pertama menilainya bahwa dia seperti anak yang tidak bisa diajak serius. Tak satu hurufpun dia sumbangkan untuk tugas sejarah Eropa. Dia hanya beruntung ditunjuk untuk presentasi, itupun dengan cara membaca dan teman yang lain susah-susah bertugas menanggapi pertanyaan. Hingga akhir kuliahpun aku sering mendapati banyak keberuntungan selalu berpihak padanya.

Semester awal kuliah aku tak sering bergaul dengannya. Aku ikut HIMA kala itu, sementara Nanang tidak ia memilih menjadi orang merdeka. HIMA mendapat undangan dari KSG untuk mengirim perwakilan untuk ikut partisipasi menanam Mangrove di Pantai Tirang. Yang menyanggupi hanya aku, kemudian kakak kelas : mas Zaenal Mutaqin dan mas Fiston Cresendo. Sebelum berangkat kedua kakak kelas ini tiba-tiba mangkir jadinya hanya aku yang berangkat. Winarso meliahatku haru karena aku anak sejarah sendirian di bak truk kala itu. Sorenya ia menjemput ke pantai dengan sepeda motor, bersama Nanang. Aku sedikit lega, kami bertiga akhirnya beradu sungging senyum. Kegirangan bermain di pantai dan sempat berfoto bersama saat sunset, muka kami berdua tidak kelihatan jelas karena melawan cahaya sunset. Cahaya siluet dua orang sahabat menyatu seiring sayup lembayung senja.

Semenjak sunset itu aku menjadi benar-benar merasa akrab dengan teman baru yang sebenarnya sudah lama ku kenal ini. Tuhan telah mengkaruniaku semacam emotional connection dengan Nanang, kemudian ia dimasukan ke dalam Data Base “Sahabat akrab”. Sahabat akrab adalah sahabat yang tidak usah dicanggungkan lagi saat kembali bertemu, dan ia adalah tempat berbagi cerita tempat pelampiasan canda dan gurau.
Winarso dan Nanang adalah dua sahabat kompak, itu karena mereka satu grup saat KEMAS 2008. Konon keakraban mereka berdua telah membawa mereka saling berekspedisi ke kota-kota timur Semarang, berdua satu motor layaknya Alberto Granado dan El Fuser dalam film The Motorcycle Diaries. Dan mungkin pengalaman itu telah membawa mereka pada perasaan senasib. Mereka berdua bagiku adalah Dwi Tunggal Exsara, dua orang paling cikal pendiri Exsara.

Nanang terpilih menjadi Ketua Exsara mulai saat dideklarasikannya tanggal 24 Oktober 2009. Sebelumnya aku tak pernah menyangka Exsara akan menjadi organisasi serius. Namun hari itu aku benar-benar merasakan bahwa di bawah sana Exsara memiliki dapur magma yang besar dan siap dimuntahkan dahsyat nantinya. Semua teman-teman takut tuk menjadi ketua, aku dan Winarso tentu menolak dengan dalih karena masih terikat dengan HIMA. Tinggal yang memiliki legitimasi terbesar adalah Nanang Pratmaji. Ketua bagi kami saat itu adalah benteng pertama pertahanan, bukan rajanya dan kami yakin Nanang adalah tipe orang yang bisa mengelastiskan orang kaku ketika di depan sana. Hingga saat inipun, orang yang gila dan humoris seperti Nanang dijadikan prasyarat patokan sebagai calon Ketua Exsara untuk generasi berikutnya, karena terbukti berhasil memimpin dengan baik.
Jika dalam pemilihan Ketua HIMA ketika sesi fit and provert test akan ada adu kecerdasan dalam menanggapi pertanyaan, dimana yang terpilih biasanya adalah orang yang cakap menaklukan tes itu. Seandainya Exsara diadakan fit and provert test, yang bisa memenangkan menjadi ketua adalah dia yang paling banyak diketawai, disoraki bahkan dijatuhkan atau digoblok-gobloki. Bukan ahli lawak, bukan gila yang dibuat-buat juga bukan gila sakit jiwa, tapi dia yang gila, tegas dan bertanggungjawab. Itulah Nanang Pratmaji. Tidak perlu ilmu yang mumpuni, tidak perlu kebanyakan teori. Kita harus pandai memimpin maka kita bisa mengendalikan dan memanfaatkan orang yang berilmu. Kita harus praktek dan menjalani dulu nanti baru mendapatkan pengalaman tuk mencocokan teori. Begitulah aku menterjemahkan Nanang.

Dalam setiap pidato dan sambutan kepemimpinannya di Exsara, dapat dirasa hampir ia tidak pernah membahas soal bidang yang ia geluti: sejarah, apa lagi membahas mendalam mengenai materinya. Atau ketika dalam acara diskusi sejarah, Nanang hanya diam atau mampu menjawabnya dengan mereka-reka nalar saja bukan berdasar pengetahuan kognitif. Yang dapat ku mengerti bahwa Nanang memang mencintai sejarah dari segi esensinya dan kearifannyaa saja bukan dari pengetahuan kognitifnya. Buktinya, Nanang menjadi orang yang selalu muncul di permukaan, memimpin Exsara, memimpin KMK, dan ia menjadi penasehat utama ketua PPL di Magelang. Berjuang demi organisasi berarti berjuang demi kepentingan orang banyak, sama seperti perjuangan layaknya para tokoh sejarah, namun ia tak selalu hafal dengan cerita sejarah. Hal ini berlawanan dengan kawanku yang lain bernama Furqan yang seperti orang kekenyangan pengetahuan bahkan kedalaman ilmunya mungkin sudah pada tingkat nano, amat detail, hanya saja dia sulit untuk muncul ke permukaan. Itulah kebalikan dari yang dimiliki Nanang. Namun ketika kedua orang ini bertemu, bukanya kesempurnaan yang tampak, melainkan becanda yang tak pernah usai.

Nanang anak kedua dalam keluarganya, kakak pertama merantau ke Jakarta. Dan Nanang sendiri tinggal di rumah. Sebelum ayahnya meninggal, Nanang adalah tumpuan keluarga yang harus rela sering bolak-balik Semarang – Klaten mengurusi ayahnya yang sudah lemah dan kadang sakit-sakitan. Kepedulian, kebaktian dan kasih sayangnya kepada orang tua sungguh tak terperi. Setelah ayahnya pergi, Nanang tetap tegar menerima kenyataan, bahkan masih sempat-sempatnya ia menegur canda ketika rombongan Exsara dan sejarah 2008 datang untuk taziah malam itu. Menemani Nanang menabahkan hatinya melewatkan malam menjelang pagi pertama ia terbangun tanpa sosok ayah lagi di hidupnya.

Semanjak diangkat sebagai Pemimpin Exsara, peranannya dalam segala hal banyak berubah total. Jika dalam tugas sejarah Eropa ia tak acuh, maka dalam era kekinian ia bisa menjadi sahabat yang solid dalam kelompok. Aku pernah mengajaknya tuk mengambil gambar di seantero Kota Lama Semarang, ku ajak dia menusuri pedalaman Somagede, Banyumas. Belum lagi puluhan ekspedisi yang telah ia jajahi bersama laskar Exsara. Puluhan kali ia menjadi penasehat Ketua-ketua Exsara sesudahnya. Kemampuan intrapersonalnya yang melejit membuatnya selalu menyanggupi setiap tantangan yang menghadangnya: termasuk menjadi panitia KEMAS 2010 yaitu sebagai kakak pendamping. Tantangan besar berikutnya adalah kesanggupan pertisipasinya dalam program SM3T, itu adalah kesempatan langka dan langka peminat, orang ekspeditor sekaliber Nanang tentu memang seharusnya tidak menolak kesempatan itu.

Keahliannya dalam jago berdalih, tidak pernah dilupakan oleh banyak orang yang telah mengenalnya. Apa lagi ketika membawa banyak orang ke depan loket pintu masuk. Selalu ada saja cara yang bisa mengurangi harga tiket masuk. Tidak hanya ketika membawa rombongan anak-anak Exsara, tapi Nanang juga pernah menjadi pahlawan membawa rombongan teman-teman Sejarah 2008 yang ingin liburan menuju Baturaden kala senggang masa-masa KKN Brebes. Di depan Loket ia beralasan “Pak ini kami dari mahasiswa Unnes jurusan sejarah, niatnya mau survey di lokasi ini, karena mungkin suatu saat nanti kami akan mengadakan kegiatan disini, jadi boleh kami minta keringanan biaya tiket masuk??”. Penjaga tiket percaya-percaya saja kerena posisi teman-teman juga sedang menggunakan seragan KKN, alhasil tiket yang seharusnya berharga Rp.10.000/orang menjadi Rp.5000/orang.

Ada juga sifat Nanang yang suka memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, khususnya jika berkaitan dengan makanan. Lebih sering terjadi ketika universitas sedang mengadakan event besar. Pertama ketika ada semacam acara pesta selamatan doktoral dari salah satu dosen FIK, Nanang masuk saja padahal di dalamnya berisi pejabat-pejabat kampus, ketika dicegah, Nanang menjawabnya “kami dari pers pak”. “oh ya silahkan masuk” sahut penjaga. Menjelang acara berakhir banyak teman-teman Sejarah 2008 diundangnya ketempat itu, seraya diserbu makanannya. Bahkan Winarso juga sempat mengajak duet biduan yang sedang menggung disitu. Di kasus yang sama, ketika teman-teman penerima beasiswa wajib menyaksikan penganugerahan mahasiswa berprestasi (Mapres) di akhir acara baru ada pembagian snack yang berdesakan, Nanang mengambilnya satu dimasukan ke tasku, masuk dalam kerumunan meminta snack lagi, kaluar, lalu meminta lagi, lagi dan lagi hingga tasku penuh namun tidak ada yang mencurigai. Sebagian dimakan sendiri, sebagian dibagikan ke teman-teman di PKM dan teman Sejarah 2008. Kelihaian serupa juga saat ia bekerja kepada perusahaan catering dan ia mulai beraksi saat ada pesta resepsi. Tak banyak yang diperbuat saat acara berlangsung, namun ketika acara selesai Nanang tidak sungkan-sungkan melahap sisa prasmanan, es, dsb sampai ekastra kenyang. Sedikit kerja tapi banyak memanfaatkan situasi. Dapat disimpulkan, Nanang memang ahli dalam memimpin dan mengorganisir namun pemikirannya tidak selalu lurus. Ada kalanya ia harus bersikap lurus, dan ada kalanya ia harus “ng-edan” seperti hal-hal diatas.

Nanang bagiku adalah benar-benar sosok pemimpin yang tidak pantas mempunyai musuh. Dimanapun ia akrab dengan siapapun, termasuk anak-anak kecil ketika ia di Posko KKN, di Aceh tempat ia mengajar. Siapa lagi yang meng-edan-kan Pak Harso kalau bukan Nanang, Eko?. Pengalaman telah membuktikan kalau Pak Harso baru tampak “ng-edan” ketika sempat mengajar angkatan kami. Pada tahun-tahun sebelumnya beliau memang terlihat serius, murung dan seperti banyak masalah. “ng-edan” telah banyak melenturkan mereka yang kaku.

Tak banyak yang diketahui tentang Nanang oleh teman-teman Sejarah 2008. Yang mereka tahu hanyalah Nanang orangnya tidak pintar-pintar amat, tapi kekeluargaan, humoris, bisa bersahabat dengan siapa saja, dan ia adalah orang yang selamanya tidak akan punya musuh. Mereka tidak akan pernah menyangka tentang apa yang ku tulis diatas. Masih teringat jelas apapun tentang Nanang. Flash back tentangnya mambuatku melamun dan seolah semua kembali ke masa-masa itu.

Masih aku terlihat cupu, masih aku seperti anak udik, masih aku belum punya banyak teman sendirian berjalan menuju ruang 215. Tiba-tiba ada yang mengejar langkahku dari belakang dan menepuk bahuku, aku berhenti dan menoleh, “Gan, gan iki aku gan, Nanang Pratmaji, konco sekelompokmu, Tugas Sejarah Eropa”. . . . . “owalah kowe tho”. .

                                                                        

TAMAT

0 comments:

Post a Comment