Wednesday, June 18, 2014

Pergowokan: Kekayaan Budaya Banyumas yang Hilang

Satu kekayaan kebudayaan dari leluhurku ini hampir hilang. Pergowokan namanya. Pertama aku dengar dan baca istilah itu dari novel Ronggeng Dukuh Paruk, karya novelis kebanggan orang Banyumas, Ahmad Tohari.

Makna Pergowokan kurang lebih memang sangat mengesankan. Disitu diceritakan Srintil dipinjam oleh salah seorang juragan boled. Disitu ia disuguhkan kepada putra juragan tadi untuk 'latihan'.

Namun sayang anak itu tak mengerti makna kehadiran Srintil. Sebagai anak lelaki yang belum belum begitu dewasa, ia masih begitu polos. Belum mengerti apa dan bagaimana itu bercinta.

Disinilah peran Srintil sebagai gowok hadir. Srintil mengajari anak laki-laki tadi tentang bagaimana mengapresiasi rasa cinta kepada wanita. Hingga pada titik tertingginya yaitu berhubungan intim. Srintilah sebagai gowok ia harus menjadi media latihan anak itu dalam berhubungan intim.

Sejatinya Srintil sebagai Ronggeng dan tercitra sebagai wanita yang tercantik kala itu. Tapi ia tidak lagi jadi wanita yang anggun nan suci melainkan separuh sundal, yang bisa 'dipakai' lelaki dengan harga tertentu. Karena kecantikannya maka hanya skala juragan saja yang mampu. Dan kali ini diperankan sebagai gowok.

Pergowokan adalah soal gengsi dari juragan itu untuk putranya. Beharap nanti ketika sudah masanya menikah anak itu sudah tidak canggung lagi dan sudah mahir di ranjang. Karena pengalaman dan pelajaran yang diberikan gowok tadi. Benar-benar menjadi lelaki yang beruntung ketika sang orang tua bisa menunjukan gengsinya mengundang gowok untuknya.

Tapi lantas pandanganku banyak berubah tentang pergowokan ini setelah aku ngobrol dengan pak Kasirun selaku kepala seksi seni budaya di Dinporabudpar Banyumas sabtu (14/6) kemarin. Dia membubarkan bayangan indah cita penuh seni tentang pergowokan tadi. Intinya ia menyangkal pergowokan ini rupanya sama dengan apa yang diinterpretasi Ahmad Tohari.

"Aslinya tidak seperti yang diceritakan itu. Malah nuwun sewunya itu mengesankan citra negatif menurunkan norma kesopanan budaya leluhur kita," katanya.

Lalu ia ceritakan tentang bagaimana pergowokan yang sebenarnya. Pergowokan itu layaknya sebuah terapi untuk calon pengantin baru pihak laki-laki.

"Jadi bukan wanita cantik seperti Srintil yang didatangkan, akan tetapi biasanya adalah orang sepuh yang ahli meracik herbal," lanjutnya.

Mengapa sepuh? Ini berarti memang belum ada generasi penerus yang ahli meracik herbal itu. Yaitu herbal untuk kagagahan dan kejantanan vitalitas pria.

Sayangnya pak Kasirun tak menjalaskan, apakah ini hanya berupa ramuan saja atau mungkin juga ada semacam pijatan. Tapi aku yakin ini adalah keahlian yang langka, dan tidak banyak orang bisa. Pak Kasirun akhirnya bisa lanjutkan cerita.

"Jadi jelang menikah lelaki itu dibawa ke rumah yang persis menghadap ke laut. Dia tinggal disitu hanya bersama ahli ramuan tadi. Konon juga angin laut ini jadi salah satu elemen untuk menambah vitalitas pria itu juga. Mereka disitu dalam jangka waktu beberapa hari saja,"  ungkapnya.

Tapi sayang ia sudah tidak bisa bicara lebih detail lagi tentang pergowokan tadi. Seperti racikannya itu apa saja, cara konsumsinya bagaimana. Tak dipungkiri ini adalah kekayaan budaya yang hilang. Seandainya ada yang bisa bangkitkan kembali maka pria Banyumas termasuk aku akan terkenal kejantanannya, oleh wanita-wanita dari berbagai penjuru.

Tapi siapakah lagi yang mewarisi?? Aku ingin ada orang yang angkat bicara soal ini. Pak Kasirun berbisik bahwa masih ada orang yang sedang mendalami istilah pergowokan ini. Tapi sayang aku tak hafal namanya. Sedikit clue yang kuingat bahwa dia adalah salah satu pemilik dari tempat wisata pemandian Tirta Husada Kalibacin, Rawalo, Banyumas. . .

By: Ganda Kurniawan, Jurnalis JPNN

0 comments:

Post a Comment