Tuesday, August 30, 2011

Catatan seorang Pendiam 30 Agustus 2011

30 August 2011 at 22:01

Aku bukan mahasiswa sastra, tapi senantiasa banyak dorongan jiwaku untuk menulis. Ini hanya berkat rasa kesepian. Aku tak hanya berminat soal Sejarah tapi lebih dari itu, Filsafat. Itu sebuah pilihan, dan aku telah memilihnya. Tak begitu pandai berbicara dan tak mau berjanji tapi aku hanya bisa diam-diam berkomitmen. Aku memberi underline pada lirik Rap milik Almarhum Tupac Shakur, dalam beat-nya:

“No one knows my struggle# They only see the trouble”

Bagiku itulah kalimat yang memberi hakikat yang sebenarnya, bagaimana menjadi seorang pendiam yang sejati, yaitu ketika dia melakukan hal yang berjasa secara diam-diam tak banyak orang tahu, tapi kemudian ia menuai kritik karena orang umumnya sangat tajam melihat kesalahan dirinya. Ini adalah hal yang indah dimata Tuhan dan begitu memiliki nilai seni yang tinggi jika dituangkan dalam sastra atau sinema.

Pendiam bisa disinonimkan dengan kesepian tapi tidak harus diartikan keegoisan. Aku tak kunjung selesai membaca buku filsafatnya Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Achmad Chodijm. Kemarin aku mendiskusikannya dengan Awal Fahrudin, kawanku yang tengah studi di STAIN Purwokerto ini abstain atas perdebatan soal benar atau tidaknya mengenai ajaran Syekh Siti Jenar ini, dia juga ragu tentang alasan mengapa Syekh Siti Jenar ini dieksekusi oleh Kerajaan Demak dan tidak disukai oleh wali sanga yang lain.

Jauh hari sebelumnya aku telah dilontari opini oleh kawan PPL-ku Mas LP (A. Laksono Pribadi) bahwa buku ini bisa membuat kita menjadi menjadi manusia Egois, karena memang disitu tersirat kalimat “Kita tidak membutuhkan orang lain, tapi kita hanya membutuhkan Tuhan”.

Aku dan Yuli Setyo teman dekatku di kampus sebagai sesama simpatisan ajaran Syekh Siti Jenar, tak memandang hal yang pendek tentang kalimat yang digeneralisasikan menjadi makna “Egois” itu. Pemahaman kami seperti ini:

“Kita tidak membutuhkan orang lain” artinya sebaiknya kita jangan suka menyuruh-nyuruh orang untuk membantu kita, selalu meminta sesuatu kepada orang karena pada dasarnya semua hal itu sama dengan merepotkan orang lain, membebani orang lain, memaksa orang lain untuk bertindak tidak secara ikhlas. Jika hal ini diakumulasikan maka akan menghasilkan rasa tidak suka orang itu kepada kita atau bahkan menyebabkan penyakit hati atau penyakit sosial (kecuali jika diganti dengan imbalan).

Tidak membutuhkan bukan berarti menolak. Seorang teknisi Komputer yang bisa bekerja sendiri tidak membutuhkan bantuan orang lain tapi dia tidak menolak bantuan orang lain, asalkan bantuan itu adalah murni inisiatif dan tidak meminta/ membebani balas jasa.

“Kita hanya membutuhkan Tuhan”. Setiap diri kita terdapat Roh Tuhan yang membimbing jiwa dan raga kita untuk mencapai apa yang diinginkan Tuhan. Roh Illahiah inilah yang membuat manusia ini menjadi baik, menyatunya (adanya persamaan) realita sifat-sifat mulia Tuhan kepada diri kita (Manunggaling kawulo Gusti). Orang yang sedang sembahyang dan memahami kitab suci adalah orang yang sedang meminta bimbingan Tuhan. Sedangkan orang yang baik adalah orang yang menuruti bimbingan Tuhan itu yaitu ibadah dengan berbuat baik kepada sesama, membantu orang lain yang mengalami kesusahan, melaksanakan lebih dari pada fungsi sosialnya. Sifat kita yang baik kepada orang lain ini adalah sifat Illahiah, berkat bantuan (bimbingan) dari Tuhan.

Kita benar-benar hanya membutuhkan Tuhan. Mengapa ketika nabi Ibrahim hendak dibakar atau Nabi Isa yang disiksa atau juga Nabi Muhammad yang dilempari batu dan kotoran tidak meronta-ronta meminta pertolongan “help!! Help!!” kepada temannya atau kepada saudaranya?. Mereka hanya membutuhkan Tuhan. Berdo’a kepada tuhan. Jika memang itu bukan waktu ajalnya pasti Tuhan membuat skenario yang membuat dirinya selamat. Hasbunallah wa ni’mal wakil. . . . . . .

Lebih singkatnya bahwa “Kita tidak membutuhkan orang lain, tapi kita hanya membutuhkan Tuhan” sama sekali sangat berkebalikan dengan makna “Egois”, tetapi akan lebih mudah dicerna jika diubah dengan kalimat “Upayakan kita membantu, bukan menerima (meminta) orang lain”.

Ini adalah penjelasan lain dari ajaran Syekh Siti Jenar menurut versiku yang lebih mudah dipahami.

Tadi siang sepupuku beru saja mengembalikan buku itu kepadaku, karena dia secara terus terang kesulitan memahaminya. Padahal dia juga mantan mahasiswa, dan bagiku sekarang dia adalah calon pengusaha. Inilah alasan mengapa aku menulis hari ini.


Padamara, 30 Agustus 2011 

0 comments:

Post a Comment