Monday, June 4, 2012

Memoar Mikro Budi Utomo di Kubangwungu: Sebuah Kenangan KKN


Untuk kawan-kawan seperjuanganku

"Makhluk kecil, kembalilah. . . .
Dari tiada, ke tiada. . . .
Berbahagialah atas ketiadaanmu. . ." [Soe Hok-Gie]





Kami semua menghela nafas, pertanda paripurna sudah misi mengeluarkan barang-barang dari perut mobil Toyota Avanza E 1022 KR. Diletakan satu per satu barang-barang itu di depan rumah pak Sewa yang juga sudah berjubel Sound System.





Rasa capek, dehidrasi dan keringat lengket telah menyepuh tubuhku. Tak ada kursi untuk menyangga, tidak ada latar bersih untuk merebahkan badan ini. Dalam posisi berjongkok, nafas terburu dan gigi meringis, masih sempat aku menengok jam tanganku, posisi jarum tersimpul “14:25”. Tepat Mobil itu segera meninggalkan kami, yang sebelumnya ku kira ini adalah mobil milik Pak Sewa Sendiri.

Dalam hitungan detik sesudahnya, turunlah rinai-rinai hujan. Serentak memadamkan terik, dan mengurangi kecepatan detak jantungku. Kini saatnya aku bengong, dan berpandangan kosong, tidak usah banyak merumitkan pikiran, demi menghemat tenaga, karena energi yang dipakai otak ternyata mengambil 40% dari energy tubuh. Makanya orang yang stress cenderung cepat lapar dan mudah obesitas ketimbang orang yang santai.

Menoleh kanan-kiri, Astaga sungguh hingga saat itu aku belum akrab dan hafal juga dengan mereka, kawan KKN ku. Aku paling pendiam dan tidak banyak basa-basi untuk terlibat ngobrol dengan mereka. Aku seperti anak ayam yang terasing dari anak ayam lainnya dalam satu induk. Mungkinkah karena aku memiliki cirri-ciri yang paling berbeda dengan mereka sehingga mereka sedikit curiga kalau aku bukan anak dari induk dari mereka juga?

Jantungku kembali berdetak cepat, cemas “Mas Ilman lah satu-satunya harapanku, aku tidak bisa bertahan jika terus seperti ini”. Hanya mas Ilman lah orang yang paling bisa ku akrabi dari ke 13 kawan lainnya. “Usahlah…, suatu saat pasti aku akan akrab dengan mereka juga”.

Kini tatapanku beralih, memandangi aktivitas orang-orang di depan rumah pak Sewa. Segerombolan orang-orang, ada yang tengah ngincir berjalan mundur dan ada juga yang sedang menyambung-nyambung lilitan agar orang yang ngincir lekas terus berjanal mundur meninggalkan dia. Aku sebelumnya tidak menduga sama sekali kalau aktifitas ajeg mereka yang seperti itu ternyata telah membawa nama Desa Kubangwungu hingga ke pasaran Asia-Tenggara sebegai produsen Tali Tambang.

Segerombolan para pekerja itu juga berbalik memandangi kami tanpa menghentikan aktifitas mereka itu. tidak mungkin, mataku saling berpandang-pandangan dengan mereka. aku berpura-pura menoleh ke arah lain, agar mereka tidak tercipta pandangan saling curiga. Ketika aku mencoba kembali memandangi mereka, ternyata mereka masih juga memandangi kami. Lantas aku jadi terbayang sendiri, membaca tatapannya seolah seperti melihat orang asing yang aneh. Lebih dalam lagi aku juga terbayang kalau mereka seolah sedang mengingat-ingat sejarah negeri ini kalau mereka memandangi kami seperti minoritas para tuan-tuan berambut pirang dan berbaju rapi serta bahasanya berbeda. Tuan-tuan yang nama depannya diawali dengan kata Van. . . ., De. . . ., Jan. . . . atau berakhiran . . . .aar, . . . .aard, . . .ijssen, . . .oon, . . . ens, . . .aals, . . .erg, . . .man. Yah jangan-jangan tatapan mereka menganggap kami bagaikan neo-Nedherland yang akan menjajah mereka.

Lihatlah orang-orang Belanda,  terlihat lebih rapi, lebih tampan, lebih cantik juga tampak lebih pintar. Sementara , orang-orang pekerja itu menganggap seolah-olah dirinya seperti kaum Inlander, merasa dirinya lemah, berkulit lebih gelap, berpakaian sederhana, dan merasa dirinya bodoh dan siap untuk diperalat seandainya mereka dipaksa. Sejujurnya aku telah berprasangka demikian, merasa diriku seperti Neo-Nedherland tapi kadang juga merasa seperti Neo-Budi Utomo. Pasalnya kami jumlahnya minoritas tapi memiliki misi yang luas. Ibarat sekelompok kecil orang yang akan menaklukan satu desa Kubangwungu karena kecerdikannya. Sama seperti orang-orang Belanda yang dalam jumlah kecil diboyong oleh Cornelius De Houtman yang awalnya menduduki Batavia tapi selang 200 tahun kemudian berhasil menaklukan Nusantara dari Sabang sampai Merauke. Hebat Bukan?? Atau bisa juga kami seperti Budi Utomo, organisasi kecil orang-orang Jawa namun memberi nafas sedikit demi sedikit kepada kaum Inlander melalui pendidikan yang lama kelamaan menjadi pencetus Kebangkitan Nasional menular ke seluruh Nusantara bak penyakit Kusta bagi para Penjajah??. Sama Hebatnya juga bukan?.

Intinya awalnya aku berfikir apakah kami sebagai minoritas yang akan menjadi penggerak atau penjajah. Jika kami datang nantinya malah menimbulkan kerepotan bagi masyarakat, atau membawa ke degradasi moral maka kami pantas disebut sebagai Neo-Nedherland. Sementara jika kami berhasil menjadi penggerak dan banyak memberi manfaat, maka kami disanjung sebagai pahlawan macam Budi Utomo.

Bulan Mei bagiku adalah bulan Kebangkitan Nasional. Aku sesekali ingin mengenang kawan-kawan KKN ku yang bagiku bagaikan Neo-Budi Utomo, meski belum tentu dianggap serupa pula oleh masyarakat Kubangwungu. Bahkan aku juga merasa kurang pantas jika kami disebut juga bagaikan Mini-Budi Utomo. Dan lebih tepatnya mungkin kami adalah Mikro-Budi Utomo kerena misi suci kami memberantas buta aksara di desa itu.

Aku ingin mengenang dan memperkenalkan pahlawan-pahlawan Mikro-Budi Utomo ku yang telah memberi kenangan tak terlupakan selama proyek kilat 45 hari PBA di Kubangwungu. Namanya masih harum bagiku jika diiingat-ingat harumnya membuatku langsung pingsan dan rebah dalam keadaan tersenyum. Aku ingin memperkenalkan mereka satu per-satu:

Aku pilih dia yang pertama kali kutulis, karena mahasiswa Jurusan Sosiologi Antropologi inilah pemimpin dari mikro Budi Utomo di Kubangwungu. Aku pertama berjumpa ketika aku masih semester 2. Kami belum saling kenal tapi mungkin sudah saling melihat, lalu-lalang berpas-pasan tapi tidak saling sapa atau Tanya. Aku sempat menjadi seorang aktivis yang satu markas dengan dia di PKM FIS. Kadang ku dapati dia sedang ikut-ikutan begadang keranjingan hotspotan di kampus. Lama-kelamaan aku merasa tidak asing dengan dirinya perawakannya yang unik, seorang mahasiswa tapi perawakannya tergolong pendek. Tapi untunglah raut mukannya juga seimbang kelihatan muda juga, jadi meskipun umurnya lebih tua dan berbadan pendek tapi ia kurang pantas disebut “Kuntet”. Selama di kampus aku sering melihatnya memakai penutup kepala. Entahlah mungkin dia kurang percaya diri dengan model rambutnya. Penutup kepala yang ia pakai adalah penutup kepala macam yang dipakai oleh Pieter Cech.
Perawakannya yang unik membuatnya tampak sangat kocak, sebelumnya sudah ku duga kalau dia juga pandai melawak. Aku sering menjumpainya dilomba-lomba parody. Ketika di kejuaraan tingkat fakultas soal lomba Parodi, Sos-Ant lah juaranya karena dia ada di dalamnya. Jika di kejuaraan tingkat jurusan Sos-Ant dimana grupnya terdapat dia maka bersiap-siaplah akan menyabet medali emas cabang parody.

Aku telah jauh menyadarinya ia sebagai seorang aktivis di kampus. Memiliki banyak teman tongkrongan dari kawan berbagai angkatan dan berbagai jurusan karena kekocakan dirinya. Tapi aku belum menjamin pula bahwa ia ahli dalam politik. Aku baru menyadarinya ketika karirnya melejit ke tampuk pimpinan sebagai Ketua BEM FIS tahun 2009. Biasanya suksesi kepemimpinan terjadi persaingan yang sangat ketat antar calon pemimpin, baik dalam kampanye secara lisan ataupun pamphlet. Setiap golongan mahasiswa di FIS mengirimkan satu kandidat calon ketua BEM FIS. Baik itu dari mahasiswa golongan Rohis Vs Nasionalis atau Jurusan-A Vs Jurusan-B. Akan tetapi nampaknya tahun 2009 terjadi suatu kelesuan politik di FIS, penuh pesimistis. Di Jurusan Sejarah saja suksesi Ketua HIMA hanya terdaftar calon tunggal yaitu Winarso “Sastro”, di Sos-Ant pula sama, tercatat satu calon tunggal yaitu Lutfi Anshory “Konde”. Hingga ke tingkat Fakultas sosok Ilman Hakim lah satu-satunya mahasiswa yang berani mencalonkan diri sebagai mahasiswa nomor-1 (secara politik) di FIS. Soal persaingan, tidak usah dikhawatirkan lagi. Tidak ada pesaing maka tidak ada aksi saling bunuh. Akhirnya, dia juga lulus dalam Fit and Provert Test sebagai Ketua BEM FIS 2009.

Dari itulah aku tidak pernah meragukan dia ditunjuk sebagai ketua, diam-diam aku membocorkan dia ke teman-teman KKN bahwa dia adalah mantan ketua BEM FIS. Otomatis nama dan legitimasinya melejit tinggi dan tidak bisa di sangkal lagi bahwa mau-tidak mau dia harus menjadi Kormades.

Mahasiswa-mahasiswa Sos-Ant bagiku terlabelkan bahwa mayoritas dari mereka adalah orang-orang yang pandai dan sangat vocal dalam berbicara. Mungkin karena bidang sosiologi adalah bidang paling tidak eksak, akhirnya orang bisa berpendapat seenaknya. Semua hal diibaratkan hanya relatif saja dan sangat kualitatif. Bahkan teori-teori sosiologi yang dia pelajari sendiri tidak usah dijadikan sebagai pedoman pasti, bahkan kalau perlu disangkalnya. Berbeda dengan Bidang Sejarah ia masih mengekor terhadap fakta-fakta sejarah dan temporalnya. Misalnya Sejarah Indonesia telah memepercayaai bahwa Zaman Sejarah (Zaman mengenal tulisan) dimulai pada abad ke-4, dibuktikan dengan ditemukannya Yupa kerajaan Kutai dan perkembangan penelitian belum ada penemuan baru bahwa tidak ada kerajaan yang lebih tua selain Kutai di Indonesia, begitulah orang sejarah dibatasi. Tidak boleh ngomong sekenannya. Mungkin begitulah filosofi mengapa mahasiswa-mahasiswa Sos-Ant cenderung sangat pandai berbicara.

Selama di Kubangwungu dialah sosok yang paling menerima apa adanya dan teguh melaksanakan kewajibannya. Ia tidak membawa sepeda motor, akan tetapi ia tetap menjalankan misinya untuk beroperasi di Dusun 02 meski dengan barjalan kaki mengajak beberapa teman-teman yang lain, tidak peduli disapu oleh debu dan asap kendaraan besar yang melintas di sampingnya.

Hingga ke sekian minggu akhirnya ia gagal merayu warga Dusun 02 untuk menjadi warga Belajarnya. Hal ini diyakini karena warga Dusun 02 adalah sentral kesibukan industri-industri tali tambang. Ia begitu sabar menanti calon WB nya di Balai Desa, merindukan ada segerombolan ibu-ibu, bapak-bapak yang lugu senyum-senyum, merasa bodoh dan ingin diajarkan huruf olehnya. Tapi itu hanya mimpi belaka. Hingga pukul 21:00 sembari berkali-kali ia menguap ternyata tidak ada satu WB pun datang.

Minggu-minggu berikutnya ia persetan lagi dengan Dusun 02 yang sama sekali tidak sadar pendidikan, atau lebih tepatnya “Pingsan Pendidikan”. Padahal mas Ilman sendiri sudah menciumkan warga dengan bau amoniak, tapi warga belum siuman juga. Di lain waktu ia manaruh perhatiannya ke berbagai tempat seperti Dukuh Cantilan, Dusun 03 (Hj. Fatonah dan TPQ), Dusun 01.

Ibarat pencarian jodoh, tutor-tutor yang telah dijatahkan di Dusun 02 (Mas Ilman, Mba Ihda, Istiqomah dan Salam) ini tengah patah hati. Sehingga ia berdiaspora ngalor ngidul ngetan ngulon yang penting ikut ngajar. Hingga suatu saat Pak Imron (Guru MI) menjodohkan mereka dengan warganya di Dusun 03 bagian timur. Lengkap sudah.

Jika mendengar pidato-pidato mas ilman ini, baik ketika di Balai Desa maupun di Rumah Pak Carik, jelas sekali bahwa ia pandai sekali berpribahasa, banyak mengerti istilah-istilah yang sulit dan itu sangat menarik. Soal agama, ia juga seringkali hafal dengan beberapa ayat Al-Qur’an kepada kami.

Jangan pernah meremehkan orang-orang pendek, bisa jadi ia jauh lebih baik daripada dirimu. Ada banyak orang-orang yang bertubuh pendek tetapi ia menjadi seorang tokoh masyarakat, atau tokoh kondang yang terkenal kejeniusannya. Selain Mas Ilman yang pendek namun menjadi Ketua BEM FIS, kawan dekatku Nanang Pratmaji dipanggil boncel atau ceper akan tetapi dia adalah Ketua Umum Exsara (Ekspedisi Sejarah Indonesia) yang paling disegani dan paling merakyat, Pak Supani sosok yang pendek tapi dia adalah Ketua Disparbud Kab. Kudus, Pak Sukirto kepala sekolah SMAN 1 Kutasari tempat aku penelitian skripsi, beliau berbadan pendek tepi karena keprofesionalan beliau dalam berbicara telah membuatku grogi setengah mati dibuatnya ketika sedang ngobrol, Presiden B.J Habibie beliau juga Jenius, Abu Rizal Bakrie yang ekstra Kaya, Perdana Menteri Winston Churchill membawa Inggris dalam kemenangan Perang Dunia II, Andrea Hirata pengarang novel fenomenal Tetralogi Laskar Pelangi. Masih banyak lagi tokoh-tokoh berbadang pendek yang luar biasa di luar sana.

Mas Ilman telah memberi performa terbaiknya sebagai kormades. Dia memang tidak idealis tetapi Karakter kepemimpinannya sangat menghibur dan tetap professional. Sosok pemimpin seperti dia sungguh tak pantas memiliki seorang musuh/ dimusuhi.

Arif, orang yang berwibawa nomor 2 setelah mas Ilman. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini pernah berkisah tentang perubahan pesat pada dirinya. Tubuhnya yang gemuk jangan disangka ia orang yang pemalas, banyak makan, suka tidur dan fisiknya lemah. Dahulu ia adalah sosok brandal yang sudah tidak asing lagi dengan perkelahian. Kepalan tangannya mungkin sudah berkali-kali membuat memar pipi atau meretakkan gigi lawan-lawannya. Dia selalu menang sehingga tak pernah didapati dia dikeroyok babak belur. Setelah mendapat satu hadiah pukulan dari Arif, musuh sudah tidak lagi berani menaruh dendam kepadanya, yang ada hanya menaruh rasa takut. Tidak mesti karena Arif sedang membela kebenaran, tapi juga perkelahian karena kenakalannya ia sendiri juga kerap terjadi. Kebiasaan merokok, juga minum-minuman keras tidak bisa lepas darinya, mulai dari yang oplosan hingga Jack Daniels juga pernah dia nikmati.

Tapi untunglah dia belum pernah menikmati vagina seorang wanita, atau menghisap candu sebagai jawaban akhir akan segala kenikmatan.

Sebuah perenungan telah merubah hidupnya 180 derajat. Ibarat tadi ia sedang menghadap ke kiri sekarang ia sedang menghadap ke kanan. Atau ibarat tadinya ia adalah orang komunis yang gigih membela persamaan hak, menentang kepemilikan pribadi, tidak percaya kepada yang diatas dan menghalalkan pemusnahan nyawa demi terciptanya komunisme sekarang ia menjedi sosok yang sangat liberal, menghargai kepemilikan pribadi, menghargai segala persaingan, keputusan diambil dengan sangat demokratis. Begitulah 180 derajat. Yang tadinya berpihak pada setan kini berpihak pada malaikat atau sebaliknya.

Sebenarnya apa yang direnungkan Arif sangat sederhana. Tidak serumit macam dialektikanya sang filsuf G.W Friedrich Hegel, yang melalaui perenungan menetapkan tesis kemudian muncul pertentangan dari luar berupa antithesis dan menghasilkan jalan tengah berupa sintesis, tapi kemudian sintesis tersebut berubah menjadi tesis baru dan seterusnya. Tidak, tidak seperti itu. yang dipikirkan Arif cukup singkat “Kalau aku seperti ini terus, bakal hancur, akan jadi apa generasi macam aku ini nantinya, aku harus berubah”. Ajaib bukan?? Jika dimasukan dengan rumus dialektikanya Hegel ungkapan itu adalah “Tesis Abadi”, artinya antithesis tak kuasa menentang tesis tersebut baik dengan perhitungan fisika maupun metafisika. Itu sebuah sintesis antara rasionalisme dan empirisme.

Serta merta apa yang dipikirkannya turun ke kepribadiannya. Menjadi sosok mahasiswa yang kalem dan sangat ramah. Ditambah lagi dia tumbuh di Wonogiri dimana tata kehalusan tutur kata dan strata bahasa sangat diperhatikan. Cukup pandai berbahasa karma. Aku mencermatinya ketika sedang berburu Warga Belajar door to door di Dusun 03 (TPQ), melakukan persuasi dengan sangat halus agar bisa ikut diajarkan huruf. Seperti seorang dokter yang hendak menyuntik pasiennya tapi dengan rayuan kata-kata manis dahulu, menusukkan jarum suntiknya pelan-pelan kepantat dan mendorong tuas suntiknya dengan pelan-pelan pula.

Puing-puing sifat atosnya tidak sepenuhnya diratakan, akan tetapi dimanfaatkan dengan sangat baik. Puing-puing tersebut adalah “Keberanian berurusan dengan orang”. Jika dulu ia memanfaatkan hal ini untuk memberanikan diri untuk mendatangi orang, memaki orang, mengkritik orang, tak memandang ia lebih besar, lebih tua, atau lebih pintar. Membuat perasaan orang dihadapinya itu menjadi terinjak-injak harga dirinya, hingga akhirnya keduanya setuju untuk menandatangani kontrak mari adu jotos.

Akan tetapi sekarang ia menggunakan sisa-sisa ilmu “Keberanian berurusan dengan orang” ini untuk inisiatif membujuk warga. Bayangkan kawan, setelah aku dan dia melakukan survey di Dukuh Cantilan, di lain waktu ia inisiatif berangkat mandiri tanpa seorang temanpun. Maklum mungkin waktu itu diantara kami sedang sibuk bermalas-malasan tidur siang, mendengarkan music, atau nonton tv sehingga ia sungkan mengajak kami. Jadi dapat dikatakan ia tetap mencoba menegakkan idealismenya tanpa menggangu kepentingan, atau membebani orang lain sehingga jalan satu-satunya bagi dia adalah Inisiatif berangkat sendiri. Lagipula ia memiliki kelebihan Berani berurusan dengan orang. Tidak peduli nanti ia saling diam dengan orang yang akan dijumpainya itu, saling buntu topic pembicaraan, atau tidak dihargai dalam pembicaraan, itu semua urusan belakangan dan yang terpenting adalah berani bertemu dan berurusan dengan orang tersebut.

Alhasil prjuangannya membuahkan hasil. Ia berangkat sendiri ke Dukuh Cantilan menemui perangkat desa setempat. Plan-A, ia berhasil menghubungi, kepala RT, Kepala RW, perangkat desa untuk menjalin mitra mutualisme kepada mahasiswa KKN nantinya dalam program PBA. Ia juga berhasil menemui warganya belajarnya. Plan-B, sungguh mengejutkan dibanding dengan Dusun-Dusun lain, di Dukuh Cantilan ini dapat dikatakan Warga Belajarnya memiliki antusias belajar yang paling tinggi. Banyak berbondong-bondong datang berkumpul di rumahnya Pak Darto untuk siap diajar. Disini Arif harus berpuas diri karena Warga Belajarnya untungnya mereka seperti merpati yang ramah dan jinak, tidak berkepala kambing yang keras kepala dan susah diatur. Plan-C, keberhasilan Arif di Cantilan ini telah membuka peluang mengajar bagi diantara kami yang belum kebagian tempat mengajar. Tidak berbeda Arif ibaratnya telah membuatkan parit-parit yang dialiri air dan menjadi sungai. Orang-orang sekitar dapat memanfaatkan sungai ini untuk keperluan mengairi sawah-sawah pertanian dan membukakan lowongan pekerjaan baru. Teman-teman tinggal memanfaatkan hasil kerjakeras Arif ini.

Hal serupa juga ia lakukan di Dusun 03 sekitar TPQ. Setelah kami pesimis di pertemuan pertama yang WB nya tidak datang satupun. Teman-teman meninggalkanya hingga 2 minggu. Tapi sekali lagi Arif inisiatif bergerak sendiri. Tanpa bantuan teman-teman ia berangkat ke rumah Ketua RT nya sekali lagi, membujuk warganya sekali lagi. Alhasil hari-H jadwal pengajaran di Dusun 03 banyak WB yang datang. Sekali lagi Arif berjasa dalam membuat sungai-sungai baru, dan ia begitu puas. Nikmat sekali bagi dia yang masih hobi merokok, sesaat ketika ia menghisap rokoknya “uffffffffppppp”, kemudian ia membuang “ufffffffff” asapnya bergulung-gulung membentuk tulisan seperti dalam slogan iklan rokok

“S*JATI. . . . . . . Memang Bikin Bangga”

Iklan rokok merek tersebut yang ada di TV seolah serupa dengan hasil kerja kerasnya itu. lihat saja kawan.


Aku ingat-ingat lagi, siapakah diantara 8 kawan wanita KKN yang berani mengajak bicara kepadaku dengan lagak sok akrab untuk pertama kali??? Yulinah, jawabannya. Bukanlah Nurul Hawa yang notabene kawan sejurusan. Sebelum kedatangan mas Ilman yang beberapa kali tidak hadir saat pembekalan KKN dengan dalih mencret, aku yakin desas desus hati kawan-kawan semua hendak memilih Yulinah sebagai Kormades. Bukan hanya karena ia bisa berbicara cas-cis cus, tapi juga karena ia telah mengurus jaket seragam KKN dengan baik.

Aku yang pendiam segan menanggapinya ia berbicara dan bertanya-tanya kepadaku, itu karena dorongan perasaan satu rumpun yaitu “mBanyumasan”. Tahukah kau, bagaimana jika seseorang imigran dari Indonesia tinggal di Amerika tidak sengaja bertemu dengan seseorang sesama imigran dari Indonesia? Keduanya akan merasa mencoba akrab seketika. Berbeda jika seorang di Purbalingga bertemu dengan orang Purbalingga di Purbalingga pula. Belum tentu bisa langsung akrab.

Yuli berasal dari Cilacap sedangkan aku dari Purbalingga meski berbeda kota akan tetapi kami satu Sejarah dan Satu budaya sebagai rumpun Jawa Banyumasan. Tetapi tentu watak jelas berbeda. Meski kawan-kawan KKN yang lain telah tahu bahwa kami satu rumpun akan tetapi mengapa wataknya sangat kontras? Diperkirakan Yuli ketika berbicara mungkin mampu mengeluarkan 5 kata dalam satu detik, sedangkan aku paling-paling hanya 2 kata perdetik. Yah Yuli Cerewet sedangkan aku Pendiam. Itulah mengapa CURANMOR (Curahan Perasaan dan Humor) muncul di Cilacap, bukan di Purbalingga.

Aku justru sering mengamati orang-orang dari pesisir pantai macam Cilacap memiliki watak yang berbeda dengan orang pegunungan Purbalingga seperti aku. Jika berfikir secara spekulatif saja mengapa orang Cilacap lebih cepat dalam hal berbicara, ia karena berada di pintu masuk atas siapa saja yang datang dari luar dalam pelayaran. Sejak zaman Indonesia Kuno, orang-orang pesisir terkenal sebagai orang yang paling dekat dengan kebudayaan luar, ia haruslah menjadi orang yang terbuka atas kedatangan mereka. Lebih banyak diajak komunikasi mengenai hal-hal baru dari para pendatang. Jika zaman dahulu adalah orang pesisir, ibarat zaman sekarang mereka adalah Bali, tempat dimana turis mancanegara berkunjung. Coba pikirkan, orang pedalaman pasti gumunan melihat para turis. Akan tetapi tidak bagi orang-orang pesisir. Bahkan kalau perlu para pendatang ini dimanfaatkan mereka sebagai pembeli-pembeli atau konsumen-konsumen, otomatis orang pesisir harus pandai berbicara, harus tidak gumunan. Yah sekali lagi ini soal komunikasi. Bagi orang pesisir kelancaran berkomunikasi adalah hal yang sangat penting jika mereka ingin bertahan hidup. Bagaimana jika orang pesisir tidak pandai berkomunikasi? Ibarat tokoh Jimbron (dalam film Sang Pemimpi) menjadi seorang sales, pasti tidak laku-laku. Nampaknya kelancaran berbicara di Cilacap sudah seperti seleksi alam. Mereka yang tidak pandai berbicara, akan tersingkir atau punah. Tinggalah manusia-manusia yang memiliki gen “pandai berbicara”. Macam teori evolusinya Charles Darwin, survival of the fittest (yang paling bisa menyesuaikan dirilah yang sanggup bertahan hidup).

Aku sengaja menuliskan hal itu begitu panjang, itu karena karakter kelancaran berbicara Yulinah lah yang paling menonjol, paling unik yang tidak dimiliki oleh teman-teman yang lain. Meski alasan-alasan diatas tadi tidak ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan terasa berlebihan, sungguh hiperbolis.

Selama KKN berlangsung, ia mendapatkan mandat untuk beroperasi di Dusun 01. Ketika melakukan persuasi dengan warga belajar, ia berbeda dengan Arif, jika Arif melakukan persuasi dengan cara berbicara pelan-pelan namun menusuk seperti racun Arsenit yang membunuh Alm.Munir. Akan tetapi persuasi Yulinah macam serangan peluru dari senapan serbu machine gun  AK-47 yang sanggup menembakan 800 peluru dalam 1 menit. Lebih menyakitkan yang mana kawan??

Baik Arif-Style maupun Yulinah-Style ternyata sama-sama efektif. Karena keduanya memiliki persamaan, yaitu menguasai pembicaraan. Minimal perbandingan pembicaraan antara orang yang membujuk dengan orang yang dibujuk adalah 100:5. Artinya jika orang yang sedang dibujuk hanya memiliki 5 alasan untuk menolak, maka anda harus memiliki 100 alasan balik untuk meluluhkan hatinya. Mungkin ini adalah salah satu teori yang juga dipakai oleh para sales.

Selain kelancaran dalam berkomunikasi, yang patut dikagumi lagi adalah semangatnya. Nampaknya semangatnya juga sebanding dengan serangan AK-47. Ia hampir tidak pernah terlihat malas untuk mengajar, sholat dan memberi solusi. Ketika kemampuan utamanya mendalami Bahasa Arab dipadukan dengan kelancaran berbicaranya maka jadilah ia seperti seorang dai.  

Setiap aku ingat kawanku yang satu ini aku akan ingat sebuah lagu. “Aina dimana?”. Lagu yang dia ajarkan untuk anak-anak SD yang berkunjung ke posko maupun ketika ia mengajar di MI. Pembawaan lagu pembelajaran Bahasa Arab ini gemuruh semangatnya setara untuk meruntuhkan gedung WTC Amerika 10 tahun silam.

Namun apa boleh buat fisik Yuli tidak sehebat kelancaran berbicara dan semangat mengajarnya itu. Berulang kali ia pingsan, tidak kuat menahan nyeri penyakit maagnya. Kita harus mengambil pelajaran darinya, antara Sakit dan semangat baginya hanya berjarak satu jengkal saja. Mungkin sekali bahwa dia menekuni betul teori dari Allah “Lima sebelum Lima”. Melakukan hal semaksimalnya sebelum ia sakit. Selagi sehat rasanya ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Baginya, “Biarlah ketika sakit melanda, akan tetapi ketika sehat ia harus tampil 10 kali lebih baik dari apapun juga”. Tahukah kawan, apa implikasi dari semangat ini? ia bisa menyelesaikan studi S1 Bahasa Arabnya itu hanya dalam jangka waktu 7 semester, paling dini ketimbang kawan-kawan KKN yang lain. Tak usah terheran-heran yah kawanku yang lain. . . .


Pernahkah kau memperhatikan nyanyian sinden dalam pergelaran wayang kulit kawan? Atau memperhatikan gaya bertutur tokoh Shinta dalam wayang orang?. Yah itulah Susi.

Mahasiswa dari jurusan Bahasa Jawa sering ku pandangi bahwa mereka biasanya sofistik kejawaannya juga mempengaruhi sikap mereka juga, meski belum tentu juga mereka semua seperti ini. Lihat apa yang dikembangkan oleh budaya Jawa? Feodalisme, Strata Bahasa, kelembutan tutur dan gerak. Apakah Susi juga begitu? Ya benar. Modal dia yang begitu bagus menguasai segala strata bahasa membuat ia senantiasa juga berani berurusan dengan orang lain. Dengan kemampuan bahasa Jawanya ia sudah menjamin sendiri kalau orang yang akan dia urusi/ temui/ ajak bicara pastilah akan berbalik hormat padanya, jadi ia tidak akan gentar dan tak pernah terbayang akan ada orang yang membalas perkataannya dengan makian kasar.

Untung saja Kubangwungu masih dalam territorial berbudaya Jawa, dan nyaris Sunda. Disinilah peran Susi sangat diandalkan. Ia pernah kami beri mandat sebagai juru bicara tentang program PBA kepada seluruh kepala RT & RW Kubangwungu ketika berkumpul di Balai Desa. Mereka sebagai pendengar seketika duduk dengan tegak, sikap tangan kapurancang, sesekali kepala mereka mengangguk-anggukan tanda mengerti dengan air muka penuh senyum. Yah begitulah tanda-tanda orang ketika sedang terhipnotis ucapan-ucapan bahasa Jawa Krama yang sudah langka dan memberikan symbol penghormatan tertinggi atas segala kelas masyarakat. Jadi meskipun mereka rakyat jelata tetapi seketika fantasinya terbang bagaikan menjadi seorang tamu-tamu terhormat yang diundang oleh Kanjeng Sri Sultan Hamengkubuwono di Keraton kasultanan Yogyakarta. Luar biasa efek dari Bahasa Jawa Krama ini. . .

Dalam program PBA ia bertugas di Dusun 01 bersama Yulinah. Ketika ia mengajari membaca dan menulis menggunakan bahasa yang langka itu, warga belajar kerap kali merasa sangat grogi dibuatnya. Bagi masyarakat Brebes, Bahasa Jawa Krama sudah menjadi barang yang langka, mereka masih mengerti jika mendengarkan bahasa tersebut akan tetapi mereka sudah tidak mahir lagi menuturkannya. Mereka yang diajak bercerita Susi dengan bahasa Jawa Krama layaknya angannya melambung sedang diboncengkan ke mobil Mercedes-Benz 600 yaitu mobil Limousin Kepresidenan Soekarno tahun 60-an, yang mewah, antik dan langka.

Orang dari Jurusan Bahasa Jawa biasanya selain menguasai Ilmu-ilmu kebudayaan Jawanya, ia juga pandai menyanyi, menari serta dibandingkan dengan mahasiswa-mahasiswa UNNES yang lain ia paling sering diyakini sebagai insan yang paling mengerti tata karma dan sopan santun. Apakah Susi pandai menyanyi? Tentu di posko ia sering bernyanyi-nyanyi sendiri apakah lagu POP atau campursari. Ia bernyanyi padahal tidak ada musik yang mengiringi, tergantung dari imajinasinya saja. Jika ia berimajinasi sedang bernyanyi di panggung 17 Agustusan suaranya sedikit fales, lirih, nadanya berantakan. Berbeda jika ada musik atau lagu yang mengiringi keingunannya untuk bernyanyi, imajinasinya terbang dan mendarat di panggung spektakuler Balai Sarbini, suaranya lebih keras, melengking, peach controlnya dapat, meski tidak semua teman-teman KKN suka. Jika dibandingkan dengan Agnes Monica rasanya selisih 1 ruas jari saja untuk mempecundanginya. Hobi bernyanyinya di sembarang tempat ternyata memberi kesan yang tidak terlupakan bagi Pak Darto. Sesekali beliau mendengar lagu campursari, ingatannya langsung terkoneksi dengan tutur halus mahasiswi Purwodadi yang satu itu.

Berselang satu minggu di Kubangwungu, rasanya teman-teman tidak meragukan lagi bahwa Susi harus diberi satu lencana bintang penghargaan, mas Ilman menaikan pangkatnya menjadi Kapten Dapur. Jika ketika sedang berperang, seorang jenderal membuat coretan-coretan kecil di peta, mengatur strategi gerilya, membagi bawahan dengan bermacam fungsi. Susi bukanlah Jenderal dan tidak memiliki gaji seperti jenderal pula, tetapi ia bisa menentukan komposisi bumbu apa saja yang ia hendak gunakan serta memanfaatkan diantara kami untuk berbelanja di pasar. Operasi-operasi telah berhasil terlaksana seperti Operasi sayur Buncis, Operasi Sup Sapi, Operasi Labu Siam dll meski kadang kerap kali failure, akan tetapi tanpa ada complain dari diantara kami. Yang terpenting adalah kami bisa menyambung hidup dengan menjadi militan-militan operasi-operasi tersebut.

Nama “Ratmini” jika hidup di zaman pra kemerdekaan hingga maksimal sekitar tahun 60-an mungkin tergolong nama yang bagus. Akan tetapi ia hidup di zaman modern dewasa ini, sehingga kawan-kawan KKN-ku yang lain malah mengartikan nama “Ratmini” dengan makna secara harfiah bahwa “Rat” yang berarti “hewan pengerat, sebangsa tupai atau tikus” sedangkan “Mini” diartikan “kecil”, sehingga kawan-kawan sering membuat lelucon namanya dengan “Ratmini = Tikus Kecil”. Untung saja maknanya lucu, seandainya maknannya kasar mungkin dia sudah tidak terima, misalkan saja jika “Ratmini” diartikan sebagai Tikus Sawah atau Tikus Langu, pasti dia sudah marah kepada kami agar tidak iseng mengartikan nama “Ratmini” secara harfiah lagi.

Itu hanya persoalan nama saja, jika persoalan karakternya jelas tidak bisa disamakan dengan “Tikus Kecil”. Seandainya ia tidak mampu menyesuaikan diri dengan teman-teman maka ia menjadi seorang yang merasa terasingkan. Itu karena ia tidak tinggal di UNNES Sekaran seperti kawan-kawan KKN yang lain, akan tetapi di UNNES PGSD Ngalian. Apa yang ia pelajari juga berbeda dengan kami. Jika kami (mahasiswa Unnes Sekaran) lebih banyak menelusuri bagaimana mengajakan ilmu kepada siswa-siswa minimal SMP sampai SMA, sedangkan Ratmini belajar bagaimana mengajar kepada anak SD.

Akan tetapi berkat perbedaan itu ia malah menjadi memiliki spesialisasi tersendiri ketika bertugas di Kubangwungu. Brebes, khususnya Kubangwungu banyak terdapat anak-anak seusia SD, juga banyak yang seusia SMP hingga SMA. sedangkan mereka yang sudah seusia SMP – SMA sudah tidak punya gairah lagi untuk belajar di sekolah, lebih tergiur dengan lapangan pekerjaan di industri Tali Tambang yang sebenarnya upahnya sangat minim, namun upahnya cukup menghibur.

Dari paradigma itu justru anak-anak SD lah yang paling terlihat akademis ketimbang anak-anak dari satuan pendidikan yang lain. Mereka adalah kurcaci-kurcaci paling bersemangat yang berlarian kesana kemari, melintas orang-orang bercaping yang bermuka penuh pesimistis. Ironi-ironi akan terus berlaku jika kelak anak-anak ini juga ditindik hidungnya untuk menjadi kaum pesimistis, kaum pemurung dan bergaji rendah itu.

Anak-anak SD layaknya benih ikan yang baru berumur 2 minggu, dan Ratmini adalah pemberi seonggok cacing sutera, makanan terbaik penuh nutrisi yang pernah mereka dapatkan seumur hidup.

Semasa bertugas di Kubangwungu, ia bukanlah bagian dari staff pengajar P.B.A yang telah digariskan. Melainkan ia malah mengajari anak-anak SD. Musola Dusun 01, menjadi bak Harvard University bagi warga Dusun 01 Kubangwungu, tempat berkumpul dimana mereka benar-benar merasakan pendidikan nonformal secara gratis dan Limited Edition. Tua, muda, anak-anak semua menyambut mikro Budi Utomo dengan baik.


Sesampai di rumah pak Sewa, kami bertiga belas tidak lain merasa bagaikan barisan pion-pion dalam permainan catur. Makhluk-makhluk kecil hanya bisa melangkah satu atau dua petak saja. Sedangkan Mas Ilman adalah seorang Raja, dalam permainan catur meski ia jabatannya tertinggi namun ia juga hanya bisa melangkah 1 petak saja. Bagaimana harapan menang jika kerajaan kita hanya terdiri dari pion-pion dan 1 orang Raja saja? Tanpa ada benteng, kuda, patih dan Perdana Menteri. Namun itu semua hanya kami bertiga belas saja, bagaimana jika ditambahkan Bagus?

Yah berkat ada Bagus, kerajaan kita menjadi memiliki 1 pasukan kuda. Bahkan lebih dari kuda ia adalah Perdana Menteri, karena ia dapat melangkah sejauh mungkin ke berbagai penjuru arah mata angin. Ya yang dimaksud saya disini bahwa Bagus adalah satu-satunya personel yang membawa sepeda motor dari diantara kami di Kubangwungu. Kami bertiga belas dikirim menggunakan pesawat darat, sedangkan Bagus berlari sendirian dengan kudanya membelah angin dan menerjang kebrutalan jalanan pantura. Jadi disisi ini Bagus cukup berjasa dalam hal sarana mobilitas untuk pertama kalinya kami di Kubangwungu.

Tanpa Bagus membawa motor, kami berempat-belas mungkin bagaikan kerajaan catur yang terdiri dari pion-pion dan raja saja. Sungkan untuk beroperasi di jangkauan lebih jauh dari Posko. Meminjam motor milik pak Carik pun rasanya tidak enak, karena motornya adalah milik pribadi mereka bukan untuk kepentingan kami.
Jadi kendaraan milik Bagus suzuki Shogun 125R G6198CD adalah harapan penting ketika kami awal disini. Baik untuk mengantar berbelanja ke Pasar, Swalayan, mengambil uang di ATM dsb. Jadi boleh dikatakan minggu pertama kami di Kubangwungu dalam melaksanakan kinerja PBA nya baru sebatas Dusun 01 saja (sekitar posko), dan untuk mencari warga belajarnyapun kami ber 14 berangkat serentak. Sangat tidak efisien, selain kami belum bisa menjangkau Kubangwungu bagian yang lebih jauh, kami juga merasa risih dihantui perasaan paranoid dicurigai warga, bayangkan kami berangkat serentak berempat belas, berseragam, masuk dari rumah ke rumah. Pengalaman-pengalaman yang telah terjadi konon warga berprasangka bahwa serombongan orang yang serupa adalah orang-orang yang hendak mensurvei rumah dan perekonomian warga apakah layak diberi bantuan atau tidak dsb. Sehingga awal kedatangan kami disitu saya yakin kalau kami sedang dipergunjingkan oleh warga atas kesalah pahaman mereka, meski lambat laun akhirnya mereka mengerti sendiri.

Beberapa hari berselang rupa-rupanya diantara kami ada yang pulang ke Semarang untuk mengambil motor. Arif, Deni, Salam, Mas Ilman (mengambil motorku) dan Dewi (dikirimi motor). Bagus sudah tidak seperti Perdana Menteri lagi, ia berubah menjadi patih karena sekarang ia punya fokus tugas tersendiri berjalan serong ke Kanan (Dusun 03 Hj Fatonah) dan serong ke Kiri (Dusun 03 TPQ) saja. Dan kini yang menjadi Perdana Menteri adalah Arif karena ia pernah bertugas kemana saja, Ke Dusun 03 (Hj.Fatonah, TPQ, Pak Imron) dan dukuh Cantilan. Sedangkan mas Ilman memang tidak membawa motor akan tetapi ketika ada motor yang menganggur ia tidak sungkan-sungkan untuk memakainya, alhasil ia menjadi raja yang modern dan sakti mandra guna bisa kemana-mana, tidak seperti raja dalam papan catur saja.

Akhirnya mungkin kami bahkan sudah tidak seperti permainan Catur lagi, akan tetapi menurutku sudah mirip seperti Kadipaten Tumapel (Kediri). Meski kerajaan kecil masih dibawahi Kediri akan tetapi ia memiliki Raja/Akuwu dan Menteri yang luar biasa. Tunggul Ametung selaku Akuwu Tumapel ia tidak seperti raja-raja lain yang kerjanya hanya duduk, memerintah dan memaki, tapi ia juga turut dalam perang, saking saktinya ia berhasil mengalahkan keroyokan ratusan prajurit yang dikirim dari pusat kerajaan (Kediri). Sama dengan Mas Ilman, ia adalah pemimpin teladan, sangat merakyat, ia tidak hanya memberi mandate saja tapi ia juga ikut terjun langsung ke TKP. Sedangkan menteri dari Tumapel tidak lain adalah Ken Arok, tidak berbeda hebatnya dengan Tunggul Ametung, juga Arif Wicaksono.

Bagus bersamaku adalah termasuk tipe orang-orang yang ingin memiliki fokus atau spessialisasi tersendiri. Oleh karena itu kami hanya berkeliaran di sekitar Dusun 03 saja. Berbeda dengan yang lain yang suka menyebar, gonta-ganti tempat mengajar. Aku dan bagus lebih banyak berada di Dusun 03 tempat ibu Hajah Fatonah. Mungkin dahulunya beliau adalah salah satu tokoh masyarakat disitu sehingga rumahnya tergolong besar dan memiliki ruangan kosong untuk balai. Akhirnya kami memutuskan rumah ini dijadikan sebagai tempat mengajar. Meski bu Hj.Fatonah yang sudah berumur 70, namun ia masih terlihat waras. Aku biasanya meyakini orang-orang seoerti beliau adalah orang yang dicintai Tuhan karena banyak amal Ibadahnya. Orang-orang seperti itu biasanya tidak ditimpa penyakit parah, ia diberi kesehatan dan kemudahan beribadah dan biasanya meninggal karena sakit mendadak tanpa perlu penderitaan panjang, sama seperti eyang kakungku. Aku kadang merenungi kebaikan Allah yang satu ini.

Setiap Selasa malam dan kamis malam kami datang ke rumah itu untuk mengajar. Kami berempat (Bagus, Ike, Hawa dan aku) seolah sudah dianggapnya sebagai cucu. Sungguh menyenangkan sekali merasa saling memiliki dalam hubungan silaturahmi padahal tanpa ikatan darah apapun, meski jika ada ikatan darah, mungkin rasanya kami adalah seolah seperti keturunan paling mentah. Karena keturunan-keturunan beliau hampir semuanya telah menjadi orang sukses, menjadi pejabat, ada yang masih kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir. Meskipun demikian setidaknya kami telah menjadi teman yang baik bagi ibu Hj.Fatonah dikala malamnya yang kesepian, karena anak-anaknya ternyata sudah memiliki tempat tinggal sendiri di tanah rantau.

Itulah kenanganku bersama Bagus. Bagiku, Bagus adalah partner yang baik dan bisa diandalkan dan tegas. Ia kadang juga bisa bangun lebih pagi dariku, tapi ketika malas ia juga terlihat lebih malas dariku. Ia orangnya jujur, tidak ingin membohongi dirinya sendiri, misalnya ketika dia kepanasan ia tidak sungkan sungkan untuk jujur caranya dengan ia langsung membuka baju begitu saja dan memakai celana pendek boxer tanpa malu-malu. Tapi itu telah membuktikan bahwa dia adalah sosok yang tidak munafik dengan diri sendiri.


Seharusnya dia adalah orang yang paling akrab denganku karena ia adalah kawan satu jurusan. Meski terkadang kuliah satu rombel, tetapi ia jarang sekali bergaul dengan kawan laki-laki. Rasanya yang ia kenal hanya kawan-kawan satu gengnya saja (aku tidak hafal siapa saja), mengisolasikan diri tetapi bukan berarti ia bermusuhan dengan yang lain. Aku yakin sekali meski di kampus ia juga seorang yang pendiam akan tetapi ia juga kaya akan pengetahuan, hanya saja jarang ia pamerkan. Setahuku ia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ketika membela kelompoknya yang tengah presentasi.

Tidak sampai disitu saja, aku pernah dibayar kawanku Harry untuk membuatkan transkrip wawancara tugas Sejarah Lisan. Harry dan Hawa adalah kawan satu kelompok dalam tugas tersebut. Sambil aku memegang kertas dan pulpen, sambil menyimak benar-benar wawancara kelompok mereka berbincang-bincang menggunakan bahasa Pekalongan. Aku sempat mengamati beberapa kali muncul suara dari Nurul Hawa di dalamnya, nyatanya ia memang berbeda dengan di kampus yang tidak banyak bicara, di dalam wawancara tersebut Hawa berulangkali mengajukan pertanyaan kritis kepada narasumber dalam rangka misinya mengungkap tabir fragmen budaya di Pabrik Gula Sragi Pekalongan. Intinya ia sudah tahu, kapan ia harus banyak berbicara/ bertanya, kapan ia harus diam. Ia tidak ingin memakan “gaji” buta dalam penyusunan tugas itu. Menurutku itu adalah keputusan yang bijak.

Ia tak banyak dekat dengan kawan laki-laki. Ketika di Posko Kubangwungu, aku diam-diam mencermati pembicaraannya kepadaku tentang pengalaman PPL dan aku menyimpulkan satu hal bahwa ia paham betul tentang sosok Winahyu Tejo Kusumo, kawan satu tempat mengajarnya sekaligus teman satu jurusan yang ekstra culun itu. Itu artinya persahabatan mereka telah mencair. Begitu juga denganku, ketika di kampus seolah dia tidak pernah kenal denganku, bertemu di jalanpun tidak pernah menyapa akan tetapi ketika hidup satu posko ia bisa cair denganku. Jadi dapat disimpulkan bahwa ia adalah orang yang bertipe mau akrab dengan laki-laki asal dengan satu syarat yaitu “menjadi kawan sepergaulannya”. Sehingga aku yakin, seorang laki-laki yang telah menjadi pasangan Nurul Hawa, ia tidak usah khawatir kalau Hawa selingkuh. Hawa jelas akan kesulitan untuk selingkuh, pasalnya ia adalah tipe orang yang “Akrab Bersyarat”, berbeda dengan orang yang “Akrab Terbuka”. (aku persembahkan alinea ini untuk Salam hahaha)

Itu adalah cerita pra-KKN. Ketika KKN ia satu partner denganku di Dusun 03 Hj.Fatonah. Aku tidak dapat menilai kekompetenan ia dalam negajar. Akan tetapi aku dapat melihat sepak terjang ia bersamaku dalam mengundang warga-warga belajar sekalian untuk menghadiri demo masak Piscok secara gratis. Sehari sebelumnya kami berhasil mengestimasikan lokasi dan memperoleh kesepakatan dari pemilik tempat. Esoknya kami berhasil menciptakan suasana yang kami inginkan. Banyak wagra dan anak-anak berkerumun, mereka berpartisipasi secara psikomotorik dalam membuat Piscok, mereka menikmati hasilnya bersama-sama dan membuat mereka semua senang. Disinilah aku terakhir kali melihat Hawa begitu giat dan tekun melayani warga dalam demo masak ini. Menunjukan bahwa inilah Nurul Hawa yang sebenarnya. Aku mengangguk-angguk and sayin’ “BRAVO!!”.


Pertama melihatnya di portal kkn.unnes.ac.id, aku langsung teringat kawan SMA ku yang bernama Deny, ia begitu mirip. Terlebih lagi keduanya juga mirip seorang artis layar lebar “Donny Alamsyah”. Hanya melihat fotonya saja saya langsung memprediksikan bahwa menurutku salam adalah orang yang paling kharismatik nomor 2 setelah mas Ilman, atau seandainya aku tidak membocorkan hal tantang mas Ilman, mungkin Salam akan menjadi satu-satunya orang yang paling dibujuk untuk menjadi Kormades.

Pernahkah kau melihat acting dari artis Donny Alamsyah, kawan??? Ya biasanya artis ini laris di film-film bertemakan sejarah. Wajahnya sangat mirip dengan kawanku yang satu ini, alis panjang, ketika tersenyum matanya menyipit, bibirnya juga mirip, serta sama-sama berbakat memiliki lingkar kumis-jenggot yang macho. Coba amati lagi kawan, di film GIE Donny berperan sebagai Jaka, di Trilogi Merah Putih ia berperan sebagai Thomas, dan di 16 Agustus 1945 ia berperan sebagai Golongan Muda, Chaerul Saleh. Jangan search di google kawan, kau tidak akan menemukan titik temu kemiripan wajah antara Salam dengan Donny disitu, tetapi lihatlah langsung filmnya. Tahukah kawan, Riri Riza (Sutradara film GIE) sempat menyeleksi mengenai siapa artis yang cocok untuk diperankan sebagai GIE antara Donny, Lukman Sardi dan Nicholas Saputra. Jelas Donny kalah, karena GIE tidak menyerupai dia yang gagah dan tegas. Donny yang gagah dan tegas itulah yang membuat aku berpresepsi kepada Salam bahwa mungkin ia juga adalah sosok yang gagah dan tegas, hanya dari melihat fotonya.

Mari kita lihat Salam in Reality. Benarkah ia gagah? Tentu postur tubuhnya paling tinggi dari keempat belas kawan yang lain, ia juga jago main futsal. Tetapi apakah dia adalah sosok yang tegas dan garang? Rasanya hal inilah hal yang belum ia dapat. Yah jujur saja menurutku Salam adalah lelaki periang atau “Cheerful Boy”, anggap saja begitu.

Akan aku terangkan mengapa ia adalah sosok Cheerful Boy, dan Cheerful tidak mesti antonym dengan Macho. Bagiku Salam adalah satu-satunya orang yang paling terlihat ceria ketimbang kawan-kawan KKN yang lain. Ia pandai menghibur anak kecil juga kawan-kawan perempuan, akan tetapi cara menghiburnya tidak seperti khas lelaki macho yang humoris akan tetapi mungkin humornya dia lebih mirip Cheerleader yang centil dan ceria. Biasanya orang-orang seperti ini banyak disukai kawan wanitanya, namun sensasinya berbeda bukan menyukai karena ia sosok yang cool, fresh, calm dan ketika lewat para wanita-wanita hatinya luluh dan berlutut karena kekaguman Salam. Bukan, menurutku bukan seperti itu. Banyak wanita yang menyukainya karena ekspresinya yang sangat mudah cair seolah sebagai sahabat yang selalu ceria  memberi kabar gembira, sahabat lelaki yang seolah-olah menyusup ke dunia merah mudanya dan bisa diajak untuk bersenang-senang, tertawa, berjingkat-jingkat bersama di kamar cewek yang so pretty. Ya seandainya aku menjadi seorang wanita, mungkin begitulah rasanya jika berteman akrab dengan Salam. Bukan berpacaran, jika berpacaran mungkin sensasinya lain lagi.

Hal kedua yang aku dapatkan dari Salam adalah ya dia adalh tipe “Yes, Men”. Banyak hal yang ia patuhi ketika salah seorang teman untuk pergi ke suatu tempat, atau bahkan ketika ia diberi mandate seorang diri untuk mengajar seorang WB secara privat. Orang yang sangat nurut ketika diberi mandat, tidak perlu berfikir panjang biasanya ia langsung berangkat. Seharusnya orang bertipe “Yes Men” sangat cocok dijadikan serdadu, dimana pekerjaan ini tidak diperbolehkan menyangkal kepada komandannya. Diperkirakan mungkin Salam mau jika ia disuruh untuk menggantikan Paul Tibbets untuk menjadi pilot Amerika dengan pesawat pengebom B-29 dan menjatuhkan “Little Boy” di Hiroshima. Hal itu tidak seberapa, mungkin Salam akan keberatan jika disuruh untuk menggantikan Leonardo De Caprio sebagai tokoh Jack Dowson di film Titanic.

Selama di posko, aku sering menjumpainya menyobek bungkusan alumunium foil berisi entah kapsul, kaplet maupun tablet entah juga berlabelkan nama Amoxilin, Antalgin, atau Paracetamol. Awalnya aku bingung, Salam seorang Biologist akan tetapi ia sering mengkonsumsi obat. Bukankah di kampus ia telah setidaknya mempelajari system kerja tubuh, mempelajari gizi makanan, juga mempelajari macam-macam pathogen. Kita bisa beranggapan bahwa jangan-jangan salam sedang melakukan eksperimen menggunakan tubuhnya sendiri untuk bahan percobaan mengamati reaksi tubuh dengan memasukan obat-obat kimia. Ternyata aku salah, aku sempat mendengar kalau Salam sering menolak makanan yang pedas dan konon ia juga tidak tahan dengan udara gunung. Aku agak kasihan dengannya soal ini, mungkin dia kurang sehat. Seorang Biologist pun bisa sakit, dia menjawab kepadaku “Anggap saja seperti sejarawan yang lagi hilang ingatan masa lalu”.   

Hal ke-3 yang aku dapati dari Salam adalah, ia adalah pemuda yang cerdas. Aku mengakuinya setelah aku tahu bahwa ia adalah jebolan dari Smansa Jepara. Biasanya sama seperti Smansa-Smansa kota yang lain mereka biasanya menghasilkan personal-personal yang cerdas. Di desaku barang siapa ia masuk ke Smansa Purbalingga, orang-orang banyak yang kagum. Selain seleksinya yang amat ketat juga harus mahir berbahasa Inggris, jika tidak maka ia akan tersingkir dalam evolusi. Seperti halnya Salam, ia jebolan dari Smansara, setahuku ia menjadi sosok yang multidimensional, meskipun ia spesialnya dalam hal biologi akan tetapi ia ternyata mahir juga dengan matematika dan fisika. Sedangkan aku, mungkin aku hanya special di sejarah saja. Geografi sebagai rekan sefakultas akupun tidak menguasai berulangkali aku lupa bagaimana petir bisa tercipta, gunung bisa meletus, atau teori tentang bagaimana terbentuknya danau karst. Soal Kewarganegaraan, akupun tidak hafal pasal-pasal UUD 45, cirri-ciri masyarakat Madani menurut Miriam Budiarjo, atau jenis-jenis perjanjian internasional. Atau bahkan soal sosiologi, dulu aku sering lupa tidak bisa membedakan antara teori imitasi dan identifikasi.


Aku heran beberapa kawan yang ku kenal mengapa orang yang namanya terdapat “Istiqomah” pasi dipanggil “Qoqom”, mengapa bukan “Istiq”, “Tiqom” atau ”Qomah”. Kalo melihat mahasiswi jurusan Bahasa Inggris asli Kudus ini dengan mata rasisme, maka kita akan berfikiran bahwa ia memiliki genetika fisik paling unggul diantara keempat belas kawan seposko. Pasalnya ia memiliki postur tubuh yang tinggi, paling putih juga apalagi ia menggunakan kontak lens berwarna coklat, sudah mirip sekali ia dengan orang-orang ras Kaukasoid, atau ras Bangsa Jerman yang sempat mengaku-aku sebagai ras paling unggul ketimbang ras manusia lain di muka bumi ini (ketika Perang Dunia ke-2). Tapi jangan sekali-kali kita semua berfikiran seperti demikian, karena pada hakikatnya semua manusia diciptakan sama. Aku sempat tertawa hingga kelihatan giginya ketika Qoqom memperkenalkan diri dengan WB di Dukuh Cantilan. Intinya ia memperkenalkan diri bahwa namanya adalah Nurul Istiqomah dari Jurusan Bahasa Inggris, untuk mempermudah mengingat-ingat pokoknya orang yang seperti Londo (orang Barat) itulah dia yang dari Bahasa Inggris. Aku tertawa karena aku baru menyadarinya bahwa ia memang seperti orang barat.   

Kini kita juga dapat menyoroti tentang Jurusan Bahasa Inggris yang seolah-olah ini adalah Jurusan paling bergengsi di Unnes. Jurusan yang paling sering memproduksi Mapres, Jurusan yang SPLnya paling mahal, Jurusan yang paling mudah mendapatkan pekerjaan. Sebelum wisuda umumnya mereka sudah bisa mencari nafkah sendiri melalui kemampuan bahasa inggrisnya, baik untuk bimbingan belajar, direkrut oleh lembaga pendidikan swasta, atau Coaching. Bahkan pergi ke Negara lain sudah tidak asing lagi begi mereka seperti Malaysia, Singapura, Australia, dan bahkan kawan PPL ku dari bahasa Inggis beberapa waktu yang lalu pergi ke Harvard University, USA. 

Melihat dua sisi keunggulan itu membuat kita bengong, tidak disadari ternyata mulut kita sedang melongo. Dalam salah satu step membuat skripsi kita pasti membuat Rumusan Masalah: Adakah hubungan yang signifikan antara keunggulan Jurusan Bahasa Inggris dengan kompetensi seorang Nurul Istiqomah?, Ho diterima atau ditolak?.

Di posko ia menjabat sebagai sekertaris. Ia menyimpan segala data tentang WB. Ia juga orang yang harus setia menemani Kormades ketika ada rapat koordinasi dari Kormacam, mencatat segala hal yang perlu ini adalah tugas yang berat. Mulai tanggal 1 November hingga 15 Desember 2011 ia mampu mengerjakan semua ini dengan baik. Namun ia punya satu kekurangan yang mudah sekali diingat bahkan bisa menurunkan kewibawaanya hingga derajat minus. Qoqom sering menjadi bahan tertawaan karena ia orangnya sedikit Tell-Me (Telat Mikir). Slogan Tell-Me yang paling terkenal adalah “Sék, sék, sék” (3 kata ini dibaca dalam 1 detik), berbahasa Jawa Kudus yang artinya “Sebentar, Sebentar, Sebentar”. Hal ini menandakan bahwa orang yang memberikan informasi kepada dia hendaknya diucapkan secara pelan-pelan, atau bisa diulang, seandainya tidak begitu maka ia bisa saja mis komunikasi atau salah paham mengenai informasi tersebut. Inikasi-indikasi seperti inilah yang kemudian oleh teman-teman seposko terkenal sebagai gejala “Qoqomèn”.

Aku baru tahu kalau Qoqom adalah pacarnya Annas ketika Annas bertandang ke Posko kami. Pantas saja Qoqom selalu berpakaian seorang muslimah sejati karena Annas adalah tokoh agama di lingkungannya. Lebih jauh lagi ternyata Qoqom juga adalah tokoh agama, konon ia adalah Ketua IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama). Rasanya Qoqom dan Annas adalah memang satu seragam, yaitu Seragam NU yang memiliki semboyan “Memelihara nilai-nilai lama yang baik dan menerima nilai-nilai baru yang lebih baik” wajar saja adalah orang Pantura yang dapat disurvei mayoritas memang penganut pemahaman NU. Boleh dikatakan Qoqom adalah wanita paling muslimah ke-2 setelah Yulinah di Posko kami.


Ketika melihat hasil ploting dalam portal KKN, yang pertama ku amati adalah kawan laki-lakinya. Karena dalam pergaulan aku akan lebih dekat dengan teman laki-laki disbanding perempuan. Pertanyaan yang kuajukan adalah Siapa mereka? ada berapa? dari jurusan mana saja? Pernah kenal atau tidak? Terlihat anak baik-baik atau tidak?. Ketika menuju step kedua yang ku pertanyakan adalah “siapa saja yang bukan seangkatan?”. Untuk mengetahuinya sangatlah mudah yaitu dengan melihat NIM nya, angka berapakah digit keempat dari belakang. Hampir semuanya menunjukan angka 8, itu artinya mereka adalah angkatan tahun 2008 termasuk aku. Tetapi aku mendapati dua teman yang NIM nya menunjukan angka 7 yaitu Mba Ihda dari PBSI dan Mas Ilman dari Sos-Ant. Mengerti tentang hal ini membuatku jadi mafhum bahwa kelak dua orang inilah yang akan lebih dihormati karena umur dan senioritasnya.

Jika mengenang mas Ilman tentu aku telah memaklumi bahwa ia adalah mantan aktivis kampus. Tahukah kawan biasanya seorang aktivis kampus memiliki pola pikir yang lebih modern ketimbang mahasiswa biasa. Jika mahasiswa biasa selalu berjalan di relnya, apa yang ia kemukakan baik dalam lisan maupun dalam tulisannya telah memperkirakan bahwa asumsinya itu sesuai dengan apa yang dosen mau, jadi sangat artificial dan banyak kepalsuan antara suara hati dengan apa yang ditulis. Akan tetapi kelebihannya mereka akan sangat mudah meraih nilai yang sangat bagus. Berbeda dengan seorang aktivis, yang ia kemukakan adalah berdasarkan suara hati, tidak mau membohongi diri, dan tidak peduli bahwa pemikirannya itu sepaham dengan dosen atau tidak, bahkan seringkali paradoks. Mereka berani paradoks karena mereka berani berbicara lantang. Akhirnya mahasiswa aktivis macam ini seringkali kesulitan mendapatkan nilai yang bagus, dan ia harus mengulang dan mengulang. Belum lagi permasalahan program-program dari organisasinya yang seringkali ia harus meninggalkan aktifitas akademiknya, banyak alpha, divonis mendapat nilai E dan harus mengulang. Inilah filosofi mengapa seorang aktifis lebih sulit untuk lulus, seperti mas Ilman ia telat satu tahun dari apa yang seharusnya digariskan maka kali ini ia baru mengikuti KKN.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman itu aku juga memberi kemungkinan yang sama pula kepada Mba Ihda bahwa ia juga seorang mantan aktivis kampus yang membuatnya ia telat mengikuti KKN. Kemungkinan kedua bahwa ia adalah orang yang pemalas, tapi melihat sekilas mata saja rasanya ia bukanlah orang yang amburadul dan umumnya kaum wanita adalah orang-orang yang lurus, tekun dan patuh. Kemungkinan yang ketiga adalah ia bisa saja telat melakukan registrasi, karena masalah ekonomi. Atau kemungkinan yang keepat kalau ia berhalangan kuliah selama satu tahun karena urusan keluarga.

Dari keempat probabilitas itu, ternyata yang mendekati kebenaran adalah kemungkinan yang terakhir. Aku baru tahu kalau ia sudah bersuami dan memiliki 1 anak. Ia berkata jujur ketika dlalam obrolannya kepada mas Ilman di rumah pak Sewa pertama kali. Pantas saja ia punya postur tubuh yang agak berbeda dengan kawan perempuan yang lain, mba Ihda lebih terlihat keibuan meski ia juga masih terlihat manis. Kejujuran seperti itu adalah hal yang sangat bijak dan sangat menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi suaminya, daripada dengan berpura-pura bahwa ia masih lajang.

Pertama kali aku membuka diri dengan mba Ihda yaitu ketika malam kami duduk di kursi bambu wulung teras sebelah utara rumah. Orang sejarah adalah orang sastra juga, sehingga mereka sama-sama bisa menulis. Aku rasa selain dengan orang sejarah aku juga sangat cocok jika turut berdiskusi dengan orang sosiologi, dan orang sastra. Sudah lama aku terkagum-kagum dengan tokoh Soe Hok-Gie, dan inilah topik pembicaraan akrab pertamaku dengan mba Ihda. Siapa sih orang sastra yang tidak mengenal Soe Hok-Gie? Bagi orang sastra yang menonjol dari Gie adalah puisi-puisinya yang sangat romantis, atau catatan hariannya dari SMP hingga meniggalnya dibukukan dalam “Catatan Seorang Demonstran”yang ditulis terlampau indah, penuh kejujuran, puitis dan menggetarkan hati. Bagi orang sejarah yang menarik dari sosok Soe Hok-Gie adalah sepak terjangnya yang sangat berperan besar dalam sejarah perkembangan demokrasi Indonesia. Gie dan mahasiswa angkatan 66 yang lain tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) melengserkan Soekarno yang mulai menyeleweng pada saat itu hingga terjadi instabilitas politik dan ekonomi persis seperti krisis moneter 1998 yang lalu. Gie adalah mahasiswa yang paling vokal menentang semua ini baik melalui diskusi maupun tulisannya. Sekiranya beginilah diskusi panel antara aku dan mba Ihda. Tokoh Soe Hok-Gie telah mempertemukan dengan akrab antara mahasiswa Sastra dengan Sejarah.

Ketika belum puas, mba Ihda merasa lebih penasaran dengan Gie. Akirnya aku pinjami notebookku kepadanya agar dapat menyaksikan film GIE yang aku punya, ini adalah film terbaik tahun 2005 dan sekaligus aku jadikan skripsi. Menurutku itu adalah film yang sangat puitis, seorang yang idealis, suka membuka aib kebobrokan pemerintah bahkan hingga teman-temannya sendiri. Hal ini sebenarnya dia bermaksud untuk memunculkan kesadaran dan koreksi. Akan tetapi yang ia dapatkan malah sebaliknya, Gie merasa dibuntuti oleh intelejen diburu oleh pemerintah dan sebagian teman juga membencinya. Segala keberaniannya itu malah ditakuti oleh orang tua pacarnya. Hingga ia merasa kesepian, Benar-benar kesepian. Akhir cerita ia meninggal di Gunung Semeru terkena asap gas beracun. Sesuai dengan cita-citanya mati bersama alam adalah hal yang lebih terhormat daripada mati di ranjang yang empuk.

Kiprah mba Ihda dalam KKN PBA di Kubuangwungu aku tidak banyak mengamatinya. Awalnya ia bersama mas Ilman, Qoqom, dan Salam diberi jatah untuk mengajar di Dusun 02, namun ketika gagal mendapatkan WB mereka berjalan tak tentu arah. Aku lihat akhirnya mba Ihda ikut bergabung dengan kelompok tutor yang mengajar di Dusun 01 bersama Yuli, Deni, Susi, Ratmini dan Salam, kemudian ia fokus disitu hingga akhir KKN. Akan tetapi aku pernah menjumpainya muncul membantu kelompokku ketika warga Dusun 03 Hj.Fatonah tengah melakukan Demo masak Piscok. 


Kawan pernahkah kau mendengar tokoh sejarah yang bernama Frans S. Mendur? Dia adalah fotografer pahlawan di negeri ini, karena ia adalah satu-satunya orang yang berhasil mengambil gambar detik-detik Bung Karno membacakan teks Proklamasi. Seandainya tidak ada dia mnungkin gambar-gambar yang sering kita lihat di buku sejarah itu tidak dicetak berdasarkan foto asli akan tetapi dicetak berupa animasi-animasi atau hasil lukisan ilustrasi saja. Seperti halnya gambar presiden pertama Amerika George Washington, Leonardo Da Vinci, Hegel, Salahuddin atau gambar detik-detik Raja Louis XVI dipenggal kepalanya, bukankah semua ini dibuat dari lukisan?.

Deni adalah pelopor orang yang mengabadikan day-by-day kegiatan kita selama di Kubangwungu. Bahkan hingga beberapa skenario penting telah terekam olehnya, mulai dari foto ketika masih di Bus Sumber Alam menuju Brebes, ketika sedang masak bersama, mengajar PBA, mandi di rumah saudaranya pak Carik, berlibur ke Tanggungsari Waterpark, industry tali tambang, dan lain-lain bahkan aku yakin masih banyak foto lagi yang unreleased tentang KKN kita di memory Handphone nya. Bagaimana tidak senang seorang sejarawan melihat hasil kerja Deni yang satu ini?? Sejarawan menyukai masa lalu, maka ia sangat menyukai arsip. Apa yang dilakukan Deni adalah seni memelihara memori kita tentang masa-masa indah itu. Deni bukanlah seorang sejarawan, akan tetapi dia sangat peduli dengan setiap momen yang tidak mungkin terulang itu. Jika dalam metode penelitian sejarah, posisi Deni adalah sumber Primer yaitu orang yang paling diburu ketika sejarawan berada di tahap Heuristik. Makanya ia menjadi orang sangat penting. Beberapa kawan KKN mulai terilham oleh kerja Deni yang satu itu, Dewi, Salam, Mas Ilman dan Bagus juga sesekali menyempatkan diri untuk menangkap gambar penting.

Foto atau gambar adalah ungkapan yang paling penting nomor tiga setelah tulisan dan lisan dalam rangka menceritakan tentang masa lalu. Foto adalah catatan sejarah untuk mereka yang tidak pandai menulis dan tidak pandai berbicara. Akan tetapi dibandiing kedua elemen itu, foto jauh lebih menarik perhatian dan mempermudah orang untuk mengerti keadaan tanpa harus bervisualisasi atau berimajinasi. Mungkin itulah apa yang ada di kepala Deni tentang sejarah, jangan kita remehkan kawan kita yang satu ini.

Selain dia mencintai keantikan roman masa lalu berupa foto, dia juga menekuni teknologi mutakhir di masa kini. Deni belajar di Jurusan teknik mesin, tentunya telah banyak tahu soal fisika gerak mesin, efektifitas aerodinamika pada body, kelistrikan, hingga mempelajari partikel-partikel komposisi pembentuk ban. Deni selalu memamerkan padaku tentang kehebatan teknologi modern ini seperti video Drag Race, bagaimana motor Yamaha MIO bisa mengalahkan kecepatan Kawasaki Ninja. Atau kadang memamerkan foto-foto PPLnya di salah satu SMK di Kab. Batang. Disana ia mensukseskan acara modification contest. Berbagai macam modifikasi unik dari motor-motor yang dibawa oleh siswanya.

Bagi orang otomotif dia dapat melihat dua buah seni dari bidangnya itu. Pertama, seni memodifikasi motor. Kedua, seni kecepatan. Soal seni kecepatan aku pernah diajak Deni untuk menyaksikan balap liar Drag Race di desa Slatri kecamatan Larangan Brebes. Deni mengetahui informasi adanya balapan ini berkat ia banyak bergaul dengan orang-orang bengkel di samping posko. Aku, Deni dan Bagus akhirnya berniat menyaksikannya. Desas-desus yang beredar konon akan diadakan adu kecepatan antara sesame Suzuki Satria F. Kami sabar menunggunya di tepi jalan yang amat lurus dan halus ini. Tak jarang pula ada orang yang iseng mengetes kecepatan motornya melintas di jalan ini. Beberapa pemuda yang lain juga berkumpul di tepi jalan ini, duduk di atas motornya yang keren, menghisap rokok dan bercumbu dengan pacarnya sembari menunggu adu kecepatan motor ini berlangsung. Balap liar ini tidak lain adalah judi, tapi memiliki dua manfaat sekaligus yaitu sama saja dengan mengadu kreativitas teknisi soal pencarian titik tercepat dari korekan mesin dan yang kedua bisa dijadikan riset antar bengkel, barang siapa yang memenangkan pertandingan maka bengkel yang mengorek mesinnya akan menjadi lebih laris dan ramai dikunjungi oleh para maniak kecepatan.

Bagi Deni otomotif adalah sebuah keajaiban. Tidak salah jika ia setiap hari selalu mengelap motor kesayanganya itu. Layaknya sedang mengelap lampu ajaib yang akan memenuhi permintaannya. Itulah keajaiban baginya.

Bagiku Deni adalah kurcaci yang paling merakyat. Dia begitu mudah mendapatkan teman dari golongan apa saja. Sebagai makhluk social, Deni lebih senang mengajak klayaban khususnya ke posko teman-teman sejurusannya, artinya juga dia memeng tidak menyukai rutinitas. Warga Belajar yang ia ajarpun ada yang dijadikannya sahabat, misalnya saja pak Slamet. WB yang satu ini memang tidak bisa baca tulis akan tetapi dia mahir sekali memperbaiki barang elektronik. Konon kemampuan tidak bisa baca-tulisnya telah membuatnya tersesat di suatu kota ketika ia sedang merantau. Dia menjadi teman akrab Deni, seringkali ia mengajaknya ke rumah untuk beramah tamah.

Sahabatnya yang lain adalah pemuda-pemuda yang sering nongkrong di bengkel sebelah posko. Antara otomotif dan persahabatan, bagi Deni adalah perpaduan yang sempurna seperti minuman anggur dan roti. Deni pun akhirnya sering turut nongkrong disitu. Hingga suatu saat ketika kawan barunya itu hendak touring ke Bandung, Denipun tidak luput dari ajakannya, dan semua terealisasi begitu baik.

Pemuda-pemuda disini umumnya berbahasa Jawa Dwipa (Proto Jawa) aksen Tegal-an. Yaitu yang menurut Ahmad Tohari adalah bahasa Jawa cukup kuno di tanah Jawa (bahasa Jawa yang sekarang dipakai oleh masyarakat Jawa tengah bagian barat), bahasa yang baru sedikit diedit dari warisan Prabu Ajisaka (Hanacaraka). Sedangkan Deni adalah mahasiswa asli Jepara, wilayahnya sudah mencakup para pengguna bahasa Jawa Moderen yang telah banyak dimodifikasi menjadi berakhiran O dan memiliki strata bahasa. Deni yang orangnya ingin sekali akrab dengan para pemuda disitu diam diam ia juga mempelajari bahasa orang Brebes ini. Bahkan ia seringkali meminta bantuan kepadaku untuk menterjemahkannya suatu kata yang belum ia ketahui seperti: Kedèr, Gili, Séjén, Bèlih, Tèmpilingi, Mana, Mené, Pan, dan lain-lain. Tujuan Deni mempelajari bahasa ini adalah agar dia bisa lebih akrab bergaul dengan mereka, mengerti tentang apa yang sedang mereka tertawakan. Selama itu Deni hanya ikut ikutan tertawa ketika mereka sedang tertawa karena humor mereka, padahal Deni tertawa bukan karena mengerti tetapi tertawa karena logat bahasanya yang bisa bikin tertawa.

Sungguh Deni memiliki EQ yang baik. ia bisa akrab dengan siapa saja diimbangi rasa keingin tahuannya yang tinggi untuk mempelajari bahasa setempat. Disinilah Deni terlihat tampil beda.         




12.  Ike Novia Retnosari
Jika teman-teman yang lain ku tulis disini biasanya saya kaitkan dengan bidang studinya masing-masing akan tetapi ada pengecualian untuk Ike kawan-ku yang satu ini. Dari Unnes ia telah berbekal ilmu tentang Pendidikan kewarganegaraan. Akan tetapi selama menjalani hidup di posko rasanya aku belum pernah mendengar ia membicarakan tentang UUD, Politik, Budi Pekerti, Pancasila, Ideologi, atau kewarganegaraan. Padahal seringkali aku sangat merindukan kawan-kawanku dari bermacam-macam jurusan mampu hidup bersama di posko dengan membawa ilmu-ilmu mereka secara panel, baik hanya sekedar audiensi (obrolan) atau berbentuk tingkah lakunya. Misalnya saja orang sos-ant nyeplos tentang teorinya Max Webber tentang Etik Protestan dan spirit kapitalisme, orang PGSD mencerminkan perhatian yang lebih kepada anak-anak kecil dan rajin ke MI, orang Bahasa Indonesia berbicara sastra atau tekun menyaksikan sinema di laptop-laptop teman, orang bahasa Inggris setidaknya update status menggunakan bahasa inggris, orang teknik mesin memamerkan padaku video balap drag-race atau modification contest, orang sejarah meminta dan sharing video documenter padaku, orang Bahasa Jawa tidak lupa membawa novel berbahasa jawanya ke posko, orang biologi mengkritik atau menyindir buruknya sanitasi di Brebes ketika sedang jalan-jalan melewati pinggir sungai Larangan-Songgom. Dan lain-lain. Aku senang melihat mereka seperti itu, dan sangat mencerminkan kalau mereka tidak menyesal masuk ke jurusannya itu.

Aku sangat merindukan Ike tiba-tiba nonton tv sendirian terlihat konsentrasi mendengarkan berita-berita politik terhangat, hingga malam ia menyaksikan Apa Kabar Indonesia malam, atau Indonesian Lawyers Club. Atau sekedar nyeplos misalnya “Pemerintah sekarang itu bla bla bla”, atau “Pancasila sudah tidak mencerminkan kepribadian bangsa kita” atau juga “akhir-akhir ini aku heran mengapa PBB tak kunjung bisa menyelesaikan konflik Israel-Palestina”. Misalnya juga berbicara soal parpol “Aku sangat tidak respek dengan partai X, wong ketua umumnya saja kok korupsi” bisa juga “aku sangat simpati kepada partai Y, pemimpinnya sangat kharismatik dan partainya juga telah menunjukan kerja yang nyata”. Aku liha Ike memang tidak pernah membahas tentang bidang studinya itu, aku memang tidak tahu mengapa.

Tetapi dengan melihat sifat itu, aku yakin ia adalah tipe orang yang bisa diberdayakan. Terbukti ia hampir tidak pernah mengeluh ketika diberi mandat. Mungkin saja ia memang tidak cinta pada jurusannya akan tetapi ia senantiasa mau dijejali ilmu apa saja yang  diberikan, dengan begitu ia tidak terpaku pada sifat primordialisme dari jurusannya. Selain itu Ike adalah tipe orang yang bisanya cuma ngikut, pasrah dengan kebijakan. Aku, Bagus, Ike dan Hawa bekerjasama menjadi tutor di dusun 3 Hj. Fatonah (meski faktanya kami lebih banyak bergurau atau ngobrol sendiri dari pada mengajar – WB nya jarang hadir). Ketika mengajar, Ike memang benar-benar mengajar, tidak main-main. Di posko ia tidak termasuk sebagai wanita yang cerewet atau suka membuat lelucon. Ia seringkali menjadi pendengar baik ketika teman sedang berbicara, kemudian Ike hanya bisa “haha hihi” menertawainya. Hari-harinya dihiasi dengan haha hihi, bernyanyi, berfoto dan berpacaran. Mungkin itulah yang ia maksud dengan segi empat kebahagiaan.

Titik perjuangan Ike terlihat semu. Orang yang tidak mencermati perjuangan ike memang terlihat semu, akan tetapi jika dilihat dengan cermat kita akan mengakui bahwa ia memang benar-benar turut berjuang. Mungkin begitulah resiko orang yang tidak banyak bicara, akan tidak dicermati seperti melihat orang yang dihalangi oleh kabut yang dingin. Ike adalah kawan seperjuangan dengan Nurul Hawa, ia bekerja dengan sangat baik mengambil gambar WB yang hendak dijadikan SUKMA, ia juga terlihat sangat giat bekerjasama dengan Hawa ketika demo masak piscok di dusun 3, juga di tempat-tempat lain. Di Rumah Hj.Fatonah ia adalah diantara kami yang paling disayang oleh bu Hajah Fatonah, karena ia telah mengingatkannya pada seorang cucunya yang begitu mirip dan sepostur dengan Ike.

Itulah Ike The Civic but Uncivicly, Speechless, Laughing and Flowing the Wishes.         

2 comments:

  1. wah, banyak banget tulisannya.sampe capek bacanya. makasih sudah berbagi . . .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih sudah menyempatkan untuk membaca . . . :-)

      Delete