Wednesday, June 29, 2011

Catatan seorang Pendiam 29 Juni 2011


Aku  tampak lebih kurus dari sebelumnya. Kenapa aku rela menyakiti diri sendiri dikala dalam proses belajar. Belajar memang seringkali seperti sedang ngemil kacang, awalnya kita akan malas sekali untuk memulainya tapi ketika ditengah proses kita jadi lupa segalanya. Lupa Tuhan, lupa makan, lupa tentang cinta, dan kadang lupa mandi. Cukup senang hari ini bisa menguasai AVS Video Editor, aku jadi mengerti bagaimana membuat video pembelajaran. Meski ini masih 50:50 sebagai tugas tapi memeng tidak ada salahnya aku menguasai. Siapa saja mungkin mengalami hal yang sama denganku terjangkit penyakit "Melupakan". Karl Marx dalam menulis manifesto Komunisnya Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan British Museum, demi menggali dan menemukan teori ekonomi dan kapital. Kecuali untuk mengunjungi keluarganya yang terbengkalai. Ketika Marx menulis Das Kapital, sebenarnya hidup Marx berada dalam keprihatinan. Ia hidup penuh kesulitan dan terlunta-lunta. Karl Marx menelurkan konsep ekonomi tanpa memperhatikan sama sekali kehidupan ekonomi keluarganya. Karl Marx bercita-cita tentang arti masyarakat sejahtera, namun sama sekali tidak coba dilaksanakan di keluarganya sendiri. Sang istri begitu pilu hidup bagai perempuan sebatang kara di tengah hutan tanpa banyak mendapat belaian kasih sayang sang suami. ah seharusnya kisah Marx ini menjadi pelajaranku agar lebih bijak (seperti yang diidealkan sebagai seorang sejarawan).

Kapan aku punya pacar kalau aku terus belajar? Aku jadi tak sempat membuat proposal pernikahan atau setidaknya membuat pakta untuk menjalin kasih dengan seorang wanita?. Rasanya ini bukan kerusakan pada sistemku. Tapi hanya kurang di upgrade saja. Aku kurang pandai memanage disiplin diri.

Akhir-akhir ini aku sering bergelut soal IT ketimbang sastra atau sosial. sedikit mengurangi kemampuan menulisku. aku sedikit bosan dan sekali-kali ingin egois. Selama ini Belajar sejarah bertujuan agar berfikir kenasionalan, membangkitkan nasionalisme dsb. Nasionalisme bagiku sekarang bukan berfikir tentang Negara (Politik) karena politik adalah hal yang kotor (aku tak sudi) tapi berfikir bagaimana kita sebagai individu memiliki kepribadian yang baik. Akupun lebih percaya sedekah/ zakat ketimbang membayar pajak Negara. Sebenarnya tujuan hidupku adalah menjadi manusia yang mandiri, bukan menjadi manusia yang digantungkan apalagi manusia yang menggantungkan. Sebagai manusialiberte ala Amerika, aku ingin yang ku lakukan bukan karena menuruti kesepakatan tertulis, tapi karena kesadaran diri yang mengalir sebagai individu yang merdeka sekaligus sosialis.

Tak dapat membohongi diri bahwa duniawi sesungguhnya adalah hal yang penting. Islampun juga seberanya mengajarkan agar juga tidak melupakan keduniaan. Siapapun membutuhkan kejayaan di dunia, termasuk Allah-pun menginginkan umatnya juga Berjaya di dunia. Islam menganjurkan perdagangan (sekalipun berdagang bisa membentuk karakter manusia yang kapitalistik). Berbeda dengan teokrasi ala Pemerintahan Gereja di Abad Pertengahan (The Middle Ages), mengajarkan “Tidak ada satu orang Kristenpun boleh menjadi Pedagang”,  ada anggapan mereka bahwa pedagang-pedagang adalah suatu unsure perusak kehidupan masyarakat, takut munculnya karakter kapitalistik yang saling memangsa (berbeda dengan Gereja Sekarang). Sementara Allah juga tidak begitu memuji kepada mereka yang tidak mengenal keduniawian (sedikit menyiksa diri/ memiskinkan diri pasrah dengan keadaan yang penting mati dalam keadaan Islam). Adakah sedikit dosa kepada mereka? karena tidak mau membawa berjuang menjayakan islam di dunia.

Kesimpulannya bahwa sebenarnya Allah ingin kita kaya. Tapi Kadang karena kaya pula kita jadi Lupa kepadanya. Jadi bagiku hal yang paling ideal adalah “hidup kecukupan”, akan lebih mudah sadar untuk merasa bersyukur dari pada mereka yang terlanjur kaya. Dunia bukanlah sesederhana "Panggung Sandiwara", tapi lebih dari itu. Dunia adalah Arena Perang yang sesungguhnya, ketika tersayat pedang kita pasti merasa sakit, bukan sebuah rasa sakit seperti kepura-puraan dalam sandiwara. Diam tak mesti tak bergerak, “Tuhan ingin melihat bagaimana kita bermain”, kata Igor Saykoji.

0 comments:

Post a Comment