Monday, December 26, 2016

Menaikan Air Tanpa Mesin dan Listrik


Warga Desa Talagening Andalkan Hidram

BOBOTSARI - Situasi yang mendesak seringkali memaksa kita untuk berfikir kreatif memecahkan solusi. Seperti halnya yang dialami oleh warga Desa Talagening Kecamatan Bobotsari, desa ini bertahun-tahun kesulitan mendapatkan air bersih. Namun kini sudah tidak lagi dirasakannya berat upaya kreatif warga yang mampu menaikan air dari bawah ke atas tanpa mesin atau listrik, melainkan membuat alat sederhana yang disebut hirdaulik ram alias hidram.

Sabtu (19/3) kemarin penulis mencoba menelusuri bagaimana warga Desa Talagening ini mendapatkan air. Jika melihat kondisi alamnya, desa ini termasuk dalam wilayah tadah hujan, perlu dibuat sumur yang sangat dalam untuk menembus cadangan air, namun hal itu jarang dilakukan warga lantaran sulit dilakukan. Di sisi lain ada sebuah mata air deras, berupa curug sayanganya berada di desa sebelah yakni Desa Serayu Larangan, Kecamatan Mrebet, kedua desa ini dipisahkan oleh Sungai Soso dengan ketinggian tebing mencapai 50 meter. Curug yang jatuh ke Sungai Soso inilah yang kemudian dimanfaatkan agar bisa dinaikan ke Desa Talagening dengan teori yang dipantulkan dari dasar jurang.

Kami harus turun tebing setinggi 50 meter menggunakan tangga besi vertikal

Untuk melihat cara kerjanya penulis diajak turun dari tebing menuju tepian sungai Soso dan sebuah curug yang dinamakan Curug Jampit. Di tepian sungai ramai terdengar decitan suara katup hidram yang naik turun, bekerja mengangkat air dari bawah ke atas. Salah satu tokoh masyarakat Desa Talagening yang mempelopori penggunaan hidram ternyata adalah seorang kakek petani berusia 75 tahun bernama Rusmanto. Dia mengajak penulis melihat dan menjelaskan cara kerja hidram ini.

Di dasar jurang yang juga di tepi Sungai Soso ini setidaknya terdapat 50 hidram yang bekerja mengaliri ratusan rumah warga Desa Talagening. Rusmanto menjelaskan air tersebut diambil dari atas curug ditampung dalam tong sebagai penstabil arus yang kemudian disalurkan sebuah pipa besi diameter 5 Cm sebagai inlet masuk ke hidram. "Panjang pipa paling tidak 18 meter, dipasang dengan kemiringan yang curam ke hidram. Semakin panjang dan semakin curam kemiringannya semakin bagus air terdorong ke atas oleh hidram. Jika pipa semakin panjang tapi tidak diimbangi pemasangan pipanya yang curam maka hidram tidak bekerja," katanya.

Ia menjelaskan cara kerja hidram sendiri adalah menerima air bertekanan tinggi dari pipa inlet tadi, air langsung terpantul ke pipa pengeluaran untuk mengalirkan keatas. Hidram berfungsi mengubah tekanan air masuk menjadi hentakan-hentakan ritmis dan setiap hentakan diakhiri katup yang menutup sehingga air tidak kembali turun. Sehingga air terus terdorong ke atas. Kinerja itu berlangsung terus menerus secara otomatis sehingga tidak memakan beaya listrik atau bahan bakar mesin.

Penggunaan Hidram ini mulai diterapkan warga Desa Talagening sejak tahun 2005 yang dipelopori oleh Rusmanto. Ia mengaku mempelajari hal ini dari penerapan serupa yang dilakukan oleh mahasiswa KKN UGM di Desa Pengalusan Mrebet, lalu ia menerapkan hidram ini di Desa Talagening dengan kapasitas yang lebih banyak. Hidram-hidram yang terpasang di desa inipun seluruhnya adalah barang rakitan dari bahan bekas dan memintakan ke tukang las untuk merakitnya. Namun demikian untuk memanfaatkan air yang diangkat dari hidram ini tidaklah murah.

Hidram terus berdecit ritmik teratur dan memuncratkan sedikit air

"Untuk satu saluran paling tidak bisa habis Rp 10 juta. Yang membuat mahal adalah untuk pembelian pipa-pipa, mulai dari pipa yang menangkap air dari atas curug ke tong penstabil, kemudian pipa besi dari tong ke hidram, lalu pipa yang menyalurkan air naik lalu tersalur ke rumah warga," kata kakek yang hanya menamatkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) ini.

Ada sekita 50 titik Hidram untuk menyalurkan ke rumah warga

Tampak banyak pipa menangkap air dari atas (desa sebelah)


Sementara itu, Kepala Desa Talagening Nila Eka Ningsih mengatakan berkat penggunaan hidram ini desanya sudah tidak banyak meminta lagi dropping air dari BPBD ketika musim kemarau datang. Dari 50 hidram yang terpasang bisa tersalur ke 200 rumah atau hampir separuh dari warga Desa Talagening. "Sebagian kecil dusun masih ada yang rutin harus dropping air, karena lokasinya lebih jauh dan lebih tinggi, tapi belum kami terapkan juga hidram disana," katanya.

Semua hidram tersebut dipasang sendiri oleh warga secara perseorangan, sehingga tidak ada pentarifan atau meterisasi. Semua biaya operasional perawatan dibebankan oleh pemasang sendiri. Atas beberapa kelebihan yang dimiliki desa, saat ini Desa Talagening sedang berkonsentrasi menjadi desa wisata.

"Kita bisa manfaatkan kompleks hidram tadi sebagai wisata teknologi. Masih di sekitar situ juga  ada Curug Jampit dan Curug Ciputut," katanya.

Hanya saja berdasaran pantauan Harmas saat ini untuk menuju lokasi tersebut tidaklah mudah. Untuk menuruni tebing disitu menggunakan tangga besi setinggi 20 meter yang disandarkan secara vertikal dan sudah agak keropos. Untuk menuju kompleks hidram dan curug Jampit harus kembali turun dengan medan batu cadas. sedangkan untuk menuju Curug Ciputut perlu menyusuri tepian sungai sekitar 200 meter.

Saat ini kedua curug ramai dikunjungi para remaja, terutama ketika hari Sabtu dan Minggu. Karena masih belum ada peraturan desa (perdes), para pengunjung masih dibebaskan dari semua tarikan retribusi. Pemerintah desa akan segera mengelola keberadaan dua curug tersebut dengan mempersiapakan Peraturan Desa (Perdes) yang didalamnya akan memuat pengelolaan curug beserta pengelolaan parker dan tiket masuk. "Semua pendapatan dari retribusi ini akan dijadikan sebagai pendapatan asli desa (PADes)," katanya. (Ganda Kurniawan)

0 comments:

Post a Comment