Monday, December 26, 2016

Suwanto : Pelopor Pertanian Organik Purbalingga

PURBALINGGA – Meskipun bukan berstatus PNS, Suwanto memiliki dedikasi yang tidak jauh berbeda. Bahkan lebih baik dibanding pegawai yang ada, khususnya dalam bidang pertanian. Bapak kelahiran 12 Desember 1971 ini bekerja sebagai tenaga harian lepas (THL) yang memperbantukan tenaga Penyuluh Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan di kecamatan Kaligondang, khususnya di desa Penolih.

Suwanto

Orang seperti Suwanto tergolong langka. Di Purbalingga ia paling terkenal sebagai pelopor pertanian organik. Baik dari sisi sistim penanaman maupun hasil tanamnya yang berupa bahan pangan. Pengabdiannya yang paling mendasar adalah berinovasi dengan Mikro Organisme Lokal (MOL) yang berguna untuk menyuburkan lagi tanah yang rusak dang mengeras akibat penggunaan pupuk kimia.
“Jadi kalau pupuk kimia itu sifatnya instan, pertumbuhan cepat. Namun dalam jangka panjang ia merusak. Nah dengan sistim organik ini ibaratnya mengobati kerusakan tanah tadi. Dalam jangka panjang bukannya bertambah rusak, namun bertambah subur hasil panen meningkat,” kata Wanto.
Pertama ia menggeluti bidang pertanian di sekitar tahun 2005. Ketika itu ia bergaul dengan tokoh senior pupuk organik di Purbalingga. Tahap selanjutnya ia mulai mengembangkan sendiri. Tak luput juga melibatkan para akademisi. Termasuk dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) khususnya dalam bereksperimen meningkatkan produktivitas mikroorganisme dalam pupuk cair organik (POC) yang dibuatnya.
Hasilnya ia ujicobakan ke laboratorium pertanahan Universitas Jenderal Soedirman, bagaimana untuk menumbuhkan padi. Terbukti, pupuk hasil inovasinya terbukti sangat baik. Selain itu biaya produksi juga jauh lebih murah.
“Pupuk organik buatan sendiri paling hanya menghabiskan biaya Rp 100 – 150 ribu untuk 7 liter pupuk organik cair  dan untuk 1 hektar sawah. Sementara jika pupuk organik yang dibeli di pasaran bisa menghabiskan Rp 120 ribu hanya satu liter untuk 150 meter persegi,” ungkapnya.
Hasil inovasinya ini belum ia perjual belikan. Ia justru lebih mengedepankan penyuluhan kepada para petani untuk bisa membuat pupuk tersebut. Harapannya biaya produksi petani menurun namun hasil produksi tetap meningkat. Sehingga kesejahteraan petani bisa tercapai.
Karena keunggulannya, ia juga sempat diundang ke berbagai daerah guna mentransferkan ilmunya agar bisa diterapkan kepada petani. Diantaranya pernah diundang ke Pemalang, Batang, Pemalang, banjarnegara, Wonosobo, Banyumas, Cilacap dan di Purbalingga sendiri. Di desa Penolih, tempat ia mangabdi sudah menyediakan lahan eksperimen.
Hasil uji cobanyapun memuaskan. Jika lahan 100 ubin menggunakan pupuk kimia hanya mampu menghasilkan 9-10 kwintal. Sementara jika menggunakan pupuk organik buatannya bisa menghasilkan 10-13 kwintal. Hasilnya pun terus meningkat. Ketika tahun 2008 menghasilkan 6,3 ton/ha, sedangkan tahun 2012 sudah bisa menghasilkan 8,4 ton/ha.
Sementara bukti-bukti tersebut, sayangnya belum banyak dipahami oleh para petani. Di desa Penolih sendiri yang sudah mengaplikasikan sistim organik ini baru 25 persen petani yang ada. Kebanyakan masih menggunakan cara konvensional yaitu pupuk kimia.
“Untuk organik memang cenderung ribet, sementara petani penginnya yang instan. Faktor kedua mungkin sudah menjadi naluri petani melakukan apa yang biasa dilakukan. Padahal kebiasaan mereka nantinya bisa merusak,” kata pria alumni Agro Teknologi UMP.
Posluhdes Desa Penolih ala laboratorium organik
Hasil pertanian organiknyapun ia akomodir untuk dijual menjadi beras sehat. Ia membeli beras tersebut dari petani dengan harga yang cukup tinggi yaitu Rp 10.000/kg. Kemudian ia menjualnya dengan harga Rp 13.000/kg. Itupun kata dia, profit yang didapat masih sedikit.
Karena kehebatannya ini ia sempat dipanggil oleh pemerintah Purbalingga khususnya oleh Badan Perencanaan Pembangunan daerah (Bappeda) dan membuat organisasi yang dinamai Pamorbangga atau paguyuban masyarakat organik Purbalingga. Suwanto dikukuhkan menjadi ketuannya. (Ganda Kurniawan) 

0 comments:

Post a Comment