Sunday, June 5, 2011

Catatan seorang Pendiam 5 Juni 2011


Menjelang pergantian hari ini aku belum juga tertidur. Masih terbawa rasa keranjingan soal Bandwith yang kecepatannya membuatku terus geleng-geleng kepala. Aku baru saja berhasil mendownload Film “8 Mile”. Meski film ini sudah lama tapi aku baru sempat menontonnya. Motif utamanya jelas aku ingin melihat acting sosok salah satu Rapper idolaku, Marshall Mathers III atau terkenal dengan nama Eminem. Tema utama film ini jelas soal budaya Rap Hiphop. Music Rap yang Indonesia sebenarnya bukanlah ,menjadi cultur seperti mereka, akan tetapi hanya sekedar music penggembira.

Setting film ini menggambarkan kehidupan kumuh orang Amerika yang penuh masalah. Artis-artisnya pun tidak terkenal tidak yang ganteng-ganteng atau cantik-cantik. Tak ada penampilan yang mewah disini. Aku pikir ini adalah suatu kesengajaan.

Music Rap akarnya memang lahir dari para negro Amerika. Maka kebanyakan sekarang para Rapper yang terkenal tentunya dari kalangan kulit hitam seperti: 50 Cent, Alm. Tupac Shakur, T.I, Lil Wayne, Jay-Z, Ludacris, Snoop Dogg, Lyold Banks, G-Unit, X-Zibit dan lain-lain. Rasanya ngeRap sudah menjadi budaya para orang kulit hitam. Namun ada sesuatu yang aneh ketika ada orang kulit putih juga jenius ngeRap, disitulah sosok Eminem muncul. Nggak tanggung-tanggung ia mampu mengalahkan para gangster kulit hitam yang selalu menjadi pemenang dalam Battle Rap.

Budaya ngeRap oleh para orang kulit Hitam terus dilestarikan melalui event Battle Rap. Mereka diadu satu persatu untuk ngeRap, seperti orang pidato serta merta (tak ada persiapan). Apa yang diucapkan bebas, apakah itu mencela, memuji, mengkritik, menyindir atau bercerita, namun yang terpenting adalah syairnya tepat seperti bersajak AAAA atau ABAB. Disitu music hanya diiringi oleh seorang Disc Jockey saja. Ya begitulah Rap/ Hiphop tidak perlu seperti Band yang membawa seabrag abrag perangkat alat music.

Aku menyukai Rap ketika aku masih duduk di Bangku SMA. Setiap malam Jumat di Radio CREZ FM Purwokerto pasti ada acara Khusus memutar music-music Rap, tidak hanya itu, mereka yang juga melayani untuk siapa saja yang ingin show-off ngeRap lewat telephon saat On-Air. Aku sangat tertarik, tapi aku belum berani ikutan Battle di Radio seperti itu. Rasanya memang Amerika sekali.

Waktu SMA pernah guru seni musikku menyuruh kami untuk mencipatakan lagu dan menyanyikannya. Tak ada pilihan lain, akupun akhirnya ngeRap. Padahal itu bukan lagu yang kuciptakan sendiri, tapi lagunya Ponco salah satu Raper Lokal yang sering diputar di Crez FM. Karena bukan penyanyi terkenal maka saya yakin Guru saya ini nggak bakal tahu kalau aku Cuma menjiplak. Sampai sekarang aku kehilangan jejak Rapper Ponco, tapi aku akan berusaha untuk mencarinya lagi untuk mendownloadnya.

Kesimpulannya, musik rap bukanlah musiknya para golongan atas. Akan tetapi lagunya para mereka golongan bawah. Lahir dari para negro Amerika mereka yang awalnya dijadikan budak, sampai menjadi korban diskriminasi. Orang kulit hitam atau orang inlander seperti kita dahulu orang Eropa menganggap kita bukanlah manusia murni, akan tetapi manusia setengah binatang. Oleh karena itu music Rap muncul sebagai suatu seni mengkritik atau menyindir yang ampuh.

Untuk menjadi seorang Raper tentunya harus memiliki masalah. Tanpa adanya masalah mereka tidak bisa membuat lirik. Atau setidaknya meskipun hidup terasa baik-baik saja tetapi ide bisa didapat dari kepekaan kita terhadap suatu fenomen.

0 comments:

Post a Comment