Thursday, June 9, 2011

Catatan Seorang Pendiam 7-9 juni 2011 (Special trip version to Madura-Surabaya-Malang)


7 Juni
Sedikit ada rasa fobia ketika Eko Nurrohmad (Cah Josh) dulu menceritakan soal orang Madura yang menujukan sikap tidak respek terhadap dirinya. Ada pedagang Madura yang memaksanya untuk membeli korek unik yang ditawarkan dengan nada bicara kurang hormat. Tragedinya dia ketika di sekitar  Jembatan Suramadu pada KKL 2 lalu itu membuatku merasa harus lebih mengerti tentang apa yang dimau dari psikis orang Madura. Apa mungkin ini bisa direlavansikan dengan Tragedi Sampit, begitu bencinya orang Kalimantan terhadap dirinya?. Aku belum memastikan apakah Tragedi sampit ini sealur dengan mentalitas Peristiwa Holocaust orang Jerman terhadap orang Yahudi ataukah sealur dengan cerita Tragedi pembantaian etnis Cina oleh VOC sekitar 1740. Tentunya kita telah tahu soal latar belakang kedua cerita tersebut.

Ah itulah manusia, lagipula Madura benar-benar panas. Membuat stress suasana dan mempermudah untuk naik darah. Di sekitar kunjunganku ke makam kuno, yang katanya berisi para luluhur pejuang perang Troloyo, panas yang tak terbiasa dan merasa terganggu dengan para pengemis anak kecil yang entah sengaja diciptakan sebagai mesin pengemis atau karena keterbelakangan mental. Pengemis anak kecil ini mirip seperti Zombie yang ada di Game PS1 “Metal Slug” ia meloncat-loncat kemudian menghinggapi tubuh kita dan konsekuensinya kita akan mati, tapi untuk pengemis ini konsekuensinya kita harus memberinya uang jika ingin lepas.

Lepaslah dari pulau gersang nan panas itu. Tak ada indahnya disitu. Aan pun mencoba memotret jalanan Jembatan Suramadu yang begitu millennium dan modern. Yusak mengomentarinya foto ini seperti jalanan di Negara Barat, sebuah sisi dunia yang segar dan penuh dengan kebebasan. Foto itu mungkin kami kenang sama halnya peresmian berdirinya Patung Liberty Amerika Serikat. Ini bukan ku bermaksud memperjelek Madura, aku hanya sedang ingin mengekspresikannya sebagai pulau yang berudara panas dan kurang menyenangkan, meski aku sadar ini hanya kesan awal dan tidak boleh digeneralisasikan kepada semuanya. “dalam satu tundun pisang tidaklah semuanya cacat” kata kawanku dari Malaysia.

Mentari jingga di soreharipun berpijar. Mesra menyambut datangnya sang petang. Aku bisa memandang ini semua dengan mata sayup-sayup terpesona.

Lampu-lampu malam kota Surabaya terlihat melankolis. Satu persatu mulai membuka mata sinarnya seiring dengan datangnya sang petang. Mereka berbaris di tepi jalan. Tampak selalu murung terus menghadap ke bawah, meski dia melihat kebobrokan tapi ia selalu rela menyinari. Cahayanya seperti roh Pahlawan 10 November.

*********


8 Juni
Aku tidak terbangun bersamaan dengan kawan sekamarku di Hotel, ada Yusak, Aan dan Anggit. Aan yang aku kira dia tak acuh soal sejarah dan politik ternyata dia sejenak tak mau mengganti channel TV yang mengabarkan tentang peluncuran buku tentang Pak Soeharto.

"Kita tidak mungkin meminta semua orang tidak suka atau suka kepada kita. Dan makin lama orang akan menilai yang mana yang baik, mana yang tidak baik,"
"Kita tidak mungkin meminta semua orang tidak suka atau suka kepada kita. Dan makin lama orang akan menilai yang mana yang baik, mana yang tidak baik,"
Fenomena peluncuran buku tentang pemimpin Rezim Orde Baru ini kali ini saya yakin tidak akan membuat polemik yang menghebohkan. Ini sudah menjadi hal biasa, dan tidak lagi menganggap sebagai karya yang penuh dengan unsur legitimasi politik. Rakyat yang frustasi dengan kondisi tentu akan membandingkan pemimpin baru dengan pemimpin lama. sekarang mungkin sudah terbukti. Orde Baru dengan Reformasi, manakah yang lebih layak kehidupannya?. Bukankah Orde Baru rasanya lebih aman dalam hal ekonomi?. Bapakku adalah simpatisan pak Harto. hanya baru dalam pemerintahan pak Harto saja yang pernah membawa Indonesia hampir menjadi macan Asia dan tahap Take off. Pak Karno pernah Korup, Pak Harto pun juga pernah korup. Namun mereka telah memiliki jasa besar untuk negeri ini.

Yang menjadi pertaruhan kemudian, apakah masyarakat ingin 'kembali' ke masa di mana Soeharto berkuasa dengan cara memilih kelompok politik yang merepresentasi kelompok masa lalu itu?. mungkin ini hanya sebatas perasaan rindu akan masa lalu.

Hari Ini adalah detik-detik paling kunanti. Sebelumnya aku sudah tahu kalau kami akan batal ke Hotel Yamato. Maka setidaknya di LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) aku bisa maksimal. Forum disambut dengan sangat baik oleh kekek-kakek yang begitu ramah, berpakaian hijau dinas militer dan mengenakan kopiah segitiga berwarna kuning.

Mengapa ia sangat menyambut kami dengan baik?? itu karena bagi mereka para veteran, kita-kita adalah calon generasi pewaris cerita sejarah (Bagi anak Ilmu sejarah) dan sebagai calon penginspirasi siswa akan leluhur yang mati matian memperjuangkan negeri ini (Bagi anak Pendidikan sejarah).

Sebuah prolog awal ia sering bicara soal penggunaan sejata. Mereka ternyata masih begitu takut memegang mesin pembunuh ini. Tapi demi terbebas dari kembalinya intervensi meluas dari Negara barat ini akhirnya mereka mau berjuang.

Kadang aku berfikir, apakah jalan yang diambil orang-orang Indonesia seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir ini adalah jalan yang lurus. Karena sampai sekarang aku masih tidak yakin kalau Belanda adalah setan bagi Negara kita. Tak pantas rasanya kita mengajari murid kita dengan presepsi mempersetankan Belanda. Bukankah budaya, bangunan, pendidikan, teknologi dan pengorganisasian dari para Hindia Belanda ini sudah membatu kita memiliki peradaban yang sedemikian mendingan?. Kalau kita tidak dijajah?apa yang terjadi? Mungkinkah kita akan sama halnya seperti Negara-negara di Afrika yang miskin dan tidak disentuh oleh para penjajah sekalipun, kelaparan, bodoh dan primitif. Masih beruntunglah kita dijajah.

Para pemimpin kita itupun sebenarnya tidak yakin kalau jalan antithesisnya terhadap pemerintah Belanda itu adalah jalan yang benar. Karena jika kita tanpa meragukan jalan yang kita pilih kita menjadi tidak ingin belajar. Dunia memang begitu kompleks.

Aku masih ingat para veteran itupun menganggap mentalitas orang sekarang tidak seperti orang ketika perang berlangsung. Mereka ketika perang berjuang  tidak kenal golongan, warna baju, ras, suku bangsa atau agama, mereka mau bersatu saling membela demi menghadapi NICA dan AFNEI. Sementara apa yang dihadapi orang sekarang berbeda, orang sekarang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongannya ketimbang kepentingan kebangsaannya. Lihat saja ketika kampanye partai berlangsung… benar apa kata lirik dari Saykoji dalam lagunya “Revolusi Hati”.
Saykoji Ngerap:
Musim kampanye banyak benderapun dikibarkan#
Hanya bendera Partai dan yang Merah Putihpun ditinggalkan#
Kepentingan golongan sendiri yang didahulukan#
Niat mencari calon pemimpin sebaiknya memang kita urungkan#
Kita butuhkan#, kesetabilan akal sehat para pemimpin#
Dengar baik-baik !! pemimpin bukan Pemimpi !!#
Yang didahulukan agenda partai, dan bukan rakyat#
Masih ada warga kelaparan yang menjadi mayat#
Kalau kalian tak korupsi, harga-harga tak perlu naik#
Tagihan gas, BBM akan lebih baik#
Dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?#
Ditengah perang tariff Telkomsel, XL, Mentari dan Esia#
 Dst..
Kata-kata terakhir dari mereka (Veteran) berujar bahwa ketika zaman memperjuangkan kemerdekaan musuh kita adalah para penjajah, sedangkan zaman sekarang musuh-musuh kita ada di dalam diri kita sendiri.

*********

9 Juni
Ini adalah pertama kali aku pergi ke Malang. Namun aku masih bagian dari 8 Armada bersama KKL sejarah. Aku pikir disini adalah waktunya total untuk bersenang senang. Tapi sayangnya rasanya memang kurang sesuai mindset pikiranku. Seandainya saja tidak usah ke Songgoriti atau ke BNS pun tidak mengapa asal diganti ke Pantai selatan Malang dekat dengan Pulau Sempu mungkin lebih eksotis, aku pernah melihatnya di TV.

Sayangnya Songgoriti dan BNS sudah terlanjur menjadi pilihan. Akhirnya kami kurang manikmati. Aku satu perasaan dan pemikiran dengan para gerombolan satu etnisku (Aan, Yusak dan Anggit) ditambah kawanku Furqan, dan sesama penganut Calm-isme Dwi Setyo. Sepanjang KKL kali ini aku hanya bersama mereka.

Sebenarnya dimata teman-teman seolah olah kami adalah segerombolan orang yang memarjinalkan diri atas nama satu etnis. Tapi sebenarnya tidak, kami terbuka, dan Furqan meski bukan satu etnis dengan kami ia senang bersama kami. Furqan merasa dirinya dimarjinalkan oleh teman-temannya sering jadi korban ejekan. Ia pun katanya senang bergabung dengan Bus C (Bus yang berisi anak-anak ilmu sejarah dan sebagian kecil anak-anak Pendidikan sejarah yang mengasingkan diri). Baginya di bus ini lebih damai. Sedangkan jika di bus A (6A) ia akan merasa tidak nyaman dengan ejekan, karena pada dasarnya dalam suatu persahabatan disitu ada kelompok si pengejek dan yang diejek. Kalau tidak mengejek ya pasti dia diejek dan sebaliknya.

Di Bis C banyak teman-teman yang tidak begitu banyak kita akrabi sebelumnya. Sehingga suasana damai dan natral masih terasa, akupun merasakan hal yang sama sebagai penghuni Bis C. Kadang ketika aku berada di tengah Teman-teman Bis B (6B) juga merasa ketidaknyamanan, khususnya ketika ada yang mengkritikku begitu saja hanya karena aku hanya diam tidak ikut-ikutan membuat sensasi konyol gila-gilaan bersama mereka. diam adalah hak ku, karena ini adalah bagian dariku untuk berfikir tenang dan nyaman. Dan diampun bukan berarti serius dan tidak selalu tak berkata.

Bagiku diamku itu seperti telaga sunyi dan sejuk, kadang dihinggapi burung dengan kicauannya yang terasa surgawi. Telaga mengalirkan sumber air yang begitu bersih tak ternoda, dan memberi kehidupan yang sehat di bawahnya. Kadang pula telaga dikunjungi oleh sepasang kekasih untuk berbagi cerita romantis dan menenangkan hati.   
Aku sempat sedih mendengar cerita dari Yusak, Aan dan Anggit ketika ia mendengar ada salah satu cewek dari jawa yang menyatakan tidak sudi memiliki pacar atau suami dari kalangan orang-orang Ngapak. Sebuah pukulan dekadensi bagi kami. Itu adalah bagian dari pembicaraan soal SARA dan sangat memicu konflik. Furqan yang pluralispun turut menentang hal itu. Aku sekarang mengerti siapa wanita itu, dan kami akan menganggapnya dia adalah wanita yang bodoh soal konsepsi kemanusiaan.
"Kita tidak mungkin meminta semua orang tidak suka atau suka kepada kita. Dan makin lama orang akan menilai yang mana yang baik, mana yang tidak baik,"
"Kita tidak mungkin meminta semua orang tidak suka atau suka kepada kita. Dan makin lama ora

0 comments:

Post a Comment