Sunday, June 12, 2011

Catatan seorang Pendiam 12 Juni 2011


Mungkin gara-gara aku update status di dini hari, menandakan waktu itu aku belum tidur, akhirnya aku dijadikan korban untuk teman ngobrol mereka yang kesepian juga belum tidur. Handphoneku berdering dengan Ringtone dentingan gitar Spanyol yang menjadi ciri khas Nokia Tone, itu menandakan ada sebuah panggilan. Terpampang nama si pemanggil “Sej.Furqan”. Aku mengangkatnya, ternyata yang berbicara bukan hanya Furqan tapi juga Aris dan Nanang. Mereka semua sedang bertamu dan menginap di rumahnya Furqan, atau mungkin hanya sedang memanfaatkan penghidupan yang enak, karena setahuku Furqan juga anak orang kaya yang dapat memberi pelayanan mewah kepada mereka.

Obrolan awal, hanya sebatas canda tawa dari Nanang dan Aris mempermainkanku dengan apa itu makna istilah “Kuro”. Istilah yang aneh dan hanya bisa diketahui oleh bahasa pergaulan orang sana saja. Aku mulai bicara panjang lebar ketika Furqan meng-handle hanphonenya sendiri. Mulai dari dialog sejarah hingga dialog soal ketuhanan.
Kita sama-sama sepakat bahwa belajar sejarah pada dasarnya ada sisi kenikmatan tersendiri bagi kami, bagi kami yang telah mengetahui undercover sejarah. Sehingga bagi kami seolah-olah undercover sejarah ini lebih enak jika dikonsumsi pribadi, atau berbagi dengan mereka yang bisa connect dengan obrolan ini. aku tak mau mengungkapnya dalam catatan ini, percuma saja. Omongan kami tidak akan mudah dipercaya begitu saja jika membahas soal ini.

Seperti biasa sejarah-sejarah yang bisa dan boleh saya bagikan kepada sesama atau murid-murid kelak adalah sejarah yang sudah banyak diamini orang saja, sejarah yang sudah mengacu pada kurikulum saja. Karena membahas soal Undercover sejarah bagiku itu adalah bagian dari High Level Knowledge, sama saja dengan pekerjaan seorang detektif yang sedang mengutak-atik menemukan kode password. Begitulah tidak mudah dipercayanya.. . . .

Jangan ditanya soal luasnya pengetahuan Furqan. Bagiku ia bagaikan ensiklopedia berjalan. Tapi ia tidak ingin mengeksiskan diri. Ia menjadi seorang pemenang lomba cerdas cermat KEMAS 2008 pun katanya penuh dengan keterpaksaan, dalam kuliahpun ia enggan untuk berpendapat, atau bertanya. Hanya diam saja sambil sedang angguk-angguk kepala sendiri menikmati music melalui headset yang selalu ia kenakan. Ia sudah mengerti sebelumnya, sikapnya yang diam dan seolah tak peduli dengan pelajaran dari dosen itu bukan menandakan kalau dia bodoh dan tak suka pelajaran itu. Tapi ia sudah mengetahui dan opininya sekedar  untuk konsumsi pribadinya, tak usah diperdebatkan dengan dosen, tidak usah menampakan dirinya kalau dia pintar di depan teman-teman.

Soal agama? Juga tidak boleh diremehkan. Dia adalah Graduate dari pondok pesantren dan mungkin sudah bosan mempelajari agama. Namun pelajarannya bukan berarti hilang, ia masih hafal al-qur’an. Terlalu mempelajari agama justru membuat ia jenuh sehingga ia lebih suka berjalan di jalur akademisi yang independen ketimbang menjadi teolog.

Akupun sama dengan pendapatnya soal eksistensi diri. Meski pengetahuanku masih kalah jauh dengan dirinya. Aku sama-sama tidak ingin menonjolkan diri, tidak ingin menjadi sosok yang tenar/ terkenal diantara orang-orang, tapi juga tidak ingin menjadi orang terlalu misterius. Yang diinginkan hanyalah menjadi manusia yang biasa saja. Aneh, ini memang Paradox dengan persepsi orang-orang pada umumnya yang kebanykan ingin menjadi orang terkenal.

Orang kadang berani mengeksiskan diri, baik dengan penampilan menarik atau dengan berani sok pintar didepan orang-orang. Mengeksiskan diri seolah betapa besar peran dirinya terhadap orang disekitarnya. Bagiku orang yang terkenal/ popular memang sama halnya dengan orang yang banyak harta. Semakin banyak hartanya/ ketenarannya seolah semakin berat berat memikul tanggung jawabnya. Semakin banyak orang membawa uang, semakin ia keberatan memikul uang itu, dan ia juga makin takut kehilangan uang itu. Menjadi orang terkenal juga akan semakin takut kalau ketenarannnya itu hilang.

Bagiku peran sosial yang dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi itu lebih baik. . . . .      

0 comments:

Post a Comment