Saturday, June 18, 2011

Catatan seorang Pendiam 18 Juni 2011

Aku sadar begitu pentingnya sebuah catatan. Itulah sejarah, semua bisa direkonstruksi meski nisbi. Kelak, aku harap cucuku atau generasi-generasi keturunanku akan membaca catatanku ini, membaca tulisan leluhur mereka, tulisan nenek moyang mereka, yaitu aku. Beginilah pergulatan pikiranku sebagai seorang yang pendiam. Mereka akan jauh mengerti tentang aku.

Malam ini aku baru saja mengajak Winarso untuk menonton film Che Guevara ini. tentang revolusi Komunis di Cuba. Film ini diambil dari diary nya Che. Begitu terkenang karena dia memiliki catatan itu. Tulisan dan sastra bagiku adalah hal yang begitu bermakna. Meski kadang diinterpretasikan sebagai candu (memabukkan), tapi seringkali juga sebagai penggugah semangat. Ada rangkaian paragraph yang ku ambil dari sekelebatsenja.blogspot.com dan ku masukan juga ke dalam skripsiku. Diktenya begini “telah diketahui bahwa Agen-agen peniup angin perubahan seringkali terilhami oleh karya sastra yang ia baca. Bukan kebetulan tampaknya jika Gie ada di Salemba, berjaket kuning dan berada di deretan garda depan generasi '66. Ia yang kini menjadi ikon para demonstran ternyata membaca Chairil dan Andre Gide di masa remajanya. Atau jika ingin contoh yang lebih terkini, Budiman Sudjatmiko dan aktivismenya yang menghebohkan bersama PRD ternyata adalah pengagum Hikmet Ran, penyair Turki yang bersama-sama dengan Pablo Neruda meraih penghargaan dari pemerintah Uni Sovyet di tahun 1950-an. Lalu saat kita berpaling ke seberang lautan, kita tak akan terkejut jika Ernesto Guevara de la Serna (Che Guevara) ternyata mengapresiasi Garcia Lorca”. Ada kobaran api yang muncul seringkali kita dapat dari Sastra.

Penting atau tidak penting, serius atau tidak serius dari tulisan sebenarnya tidak masalah. Asal itu memang goresan yang kita buat sendiri. Aku seringkali memposting karya-karya tugasku, aku cukup bangga karena orisinil. Tujuanya jelas untuk referensi bagi pembaca. Itulah hasil pemikiranku, hasil suntinganku.

“Aku berfikir, maka aku ada” kata Descartes. Tentu saja benar, dengan menuangkan pikiran kita ke dalam tulisan. Kita serasa akan terus ada meski kita sudah tiada di bumi ini. mereka yang tidak menulis, tentang hidupnya atau pikirannya, kelak di masa depan paling ia hanya meninggalkan nama, atau foto-fotonya saja. Tak tahu apa-apa. Sulit menjawab pertanyaan ini, siapa nama kakek dari kakekku?? Aku tak mengerti karena dia tak berkarya. Sedangkan kita mengenal Aristoteles, Socrates, Plato dsb, padahal mereka jauh dari hidup kita, mereka hidup di jaman sebelum masehi. Namanya hingga sekarang masih terkenang, hanya karena ia pernah berkarnya, hasil pemikirannya tertulis.
Tadi pagi aku juga sempat menonton film Komedi “Kambing Jantan”. Raditya Dika sengaja membuat catatan harian yang dibuat konyol. Itu karena ia senang melihat orang tertawa melihat catatannya itu. Novel itu menjadi Best Seller.

Setiap catatan akan memunculkan kesan-kesan tersendiri. Lebih dari nama saja yag dikenang. .  . . .

0 comments:

Post a Comment